Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel Mundur dari Jabatan Berarti Melanggar Sumpah Jabatan? yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 8 Agustus 2014.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sumpah Jabatan Kepala Daerah
Tata cara pelaksanaan sumpah jabatan diatur dalam Perpres 16/2016 yang mengatur bahwa pelantikan pasangan kepala daerah dilakukan dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik.[1]
Bunyi sumpah/janji kepala daerah yang diucapkan sebelum memangku jabatan adalah sebagai berikut.[2]
”Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa”.
Oleh karenanya, sumpah/janji yang diucapkan oleh kepala daerah sebelum dilantik merupakan rangkaian pelantikan kepala daerah sebelum memangku jabatan. Lalu, apabila kepala daerah yang sudah menyatakan sumpah/janji mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah yang lebih tinggi, apakah ia melanggar sumpah/janji?
Wali Kota Mengundurkan Diri karena Mencalonkan Gubernur, Langgar Sumpah Jabatan?
Berkaitan dengan hal ini, sebelumnya kami merujuk Putusan MK Nomor 34/PUU-XII/2014. Pemohon mendalilkan bahwa tindakan pengunduran diri jabatan kepala daerah untuk memegang jabatan kepala daerah yang lebih tinggi menunjukan bahwa kepala daerah tersebut meninggalkan kewajiban dan tugas yang telah diamanahkan rakyat pemilih demi mengejar ambisi pribadi dan kelompok partainya semata (hal. 8-9).
Permohonan ini merujuk pada Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU 32/2004 yang memungkinkan kepala daerah berhenti dari jabatannya. Namun, MK berpendapat antara posita dengan petitum permohonan pemohon tidak sejalan, sehingga pada amar putusan menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima (hal. 18).
Kemudian selanjutnya terkait ketentuan sumpah jabatan kepala daerah sesungguhnya diatur secara terpisah dengan masa jabatan yang tercantum dalam Pasal 60 UU 23/2014 yang berbunyi sebagai berikut.
Masa jabatan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) adalah selama 5 tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa tidak ada ketentuan yang mengharuskan kepala daerah menyelesaikan masa jabatannya. Adapun penerapan masa jabatan kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan merupakan cara untuk membatasi kekuasaan dari pemerintah.[3]
Sementara itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:[4]
- meninggal dunia;
- permintaan sendiri; atau
- diberhentikan.
Dengan demikian, kepala daerah dapat berhenti atas permintaannya sendiri di tengah masa jabatannya. Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, pengunduran diri Wali Kota untuk mencalonkan diri menjadi calon Gubernur adalah tidak melanggar sumpah jabatan, sebab sumpah jabatan merupakan rangkaian dari pelantikan sebelum memangku jabatannya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
- Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XII/2014.
Referensi:
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
[3] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 23-24
[4] Pasal 78 ayat (1) UU 23/2014