Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua artikel dengan judul sama, yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 14 November 2018, dan dimutakhirkan pada Rabu, 2 November 2022.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pertama-tama, perlu dipahami terlebih dahulu definisi-definisi berikut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”):
- Fotokopi adalah hasil reproduksi (penggandaan) fotografis terhadap barang cetakan (tulisan).
- Scan atau pindai (memindai) yaitu mengopi gambar atau teks ke dalam komputer dalam bentuk digital.
- Edit atau sunting (menyunting) yaitu:
- menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat); mengedit
- merencanakan dan mengarahkan penerbitan (surat kabar, majalah);
- menyusun atau merakit (film, pita rekaman) dengan cara memotong-motong dan memasang kembali.
Kami asumsikan tindakan yang dilakukan dalam kasus Anda adalah menyunting dengan cara menambah atau mengurangi isi dokumen yang telah dipindai ke komputer, lalu setelah itu difotokopi (digandakan).
Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Pada dasarnya, perbuatan mengubah/menambah/mengurangi isi dokumen dalam Kartu Keluarga (“KK”), slip gaji, Surat Tanda Nomor Kendaraan (“STNK”), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (“SKCK”), dan surat keterangan dokter dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat.
Kemudian, tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] pada tahun 2026.
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 263 - Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian
| Pasal 391 - Setiap orang yang membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau meminta orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian, dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, yaitu Rp2 miliar.[2]
- Setiap orang yang menggunakan Surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar atau tidak dipalsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana yang sama dengan ayat (1).
|
Pasal 264 - Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakukan terhadap:
- akta-akta otentik;
- surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
- surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dan suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
- talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau
tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; - surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
- Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika
pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
| Pasal 392 1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, setiap orang yang melakukan pemalsuan surat terhadap: - akta autentik;
- surat utang atau sertifikat utang dari suatu negara atau bagiannya atau dari suatu lembaga umum;
- saham, surat utang, sertifikat saham, sertifikat utang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan
atau persekutuan; - talon, tanda bukti dividen atau tanda bukti bunga salah satu Surat sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dan huruf c atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut; - surat kredit atau Surat dagang yang diperuntukkan guna diedarkan;
- surat keterangan mengenai hak atas tanah; atau
- surat berharga lainnya yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
2. Setiap orang yang menggunakan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang isinya tidak benar atau dipalsu, seolah-olah benar atau tidak dipalsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Disarikan dari artikel Haruskah Ada Unsur Kerugian dalam Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen?, menurut R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195-196), bentuk-bentuk pemalsuan surat itu dilakukan dengan cara:
- Membuat surat palsu yaitu membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
- Memalsu surat yaitu mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.
- Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
- Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak. Misalnya foto dalam ijazah sekolah.
Kemudian, R. Soesilo juga menjelaskan yang diartikan dengan surat adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya (hal. 195). Surat yang dipalsukan di antaranya harus surat yang:
- dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);
- surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa (misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).
Untuk dapat dihukum dengan Pasal 263 KUHP, menurut R. Soesilo perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur berikut (hal. 196):
- Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
- Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup. Lalu, kerugian tidak hanya kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan masyarakat, kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya (imateriil).
- Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. “Sengaja” maksudnya orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu, ia tidak dihukum.
Penjelasan di atas sejalan dengan penjelasan Pasal 391 UU 1/2023 yang berbunyi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “surat” adalah semua gambaran dalam pikiran yang diwujudkan dalam perkataan yaitu yang dituangkan dalam tulisan baik tulisan tangan maupun melalui mesin, termasuk juga antara lain salinan, hasil fotokopi, faksimile atas surat tersebut. Lalu, surat yang dipalsu harus dapat:
- menimbulkan suatu hak, misalnya karcis atau tanda masuk;
- menimbulkan suatu perikatan, misalnya perjanjian kredit, jual beli, sewa menyewa;
- menerbitkan suatu pembebasan utang; atau
- dipergunakan sebagai bukti bagi suatu perbuatan atau peristiwa, misalnya buku tabungan, surat tanda kelahiran, surat angkutan, buku kas, dan lain-lain.
Maka menurut hemat kami, jika mengubah/menambah/mengurangi suatu dokumen dilakukan dengan penggandaan bertujuan untuk membuat surat palsu, memalsu surat, memalsu tanda tangan, menempel foto orang lain dari pemegang yang berhak, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan dokumen.
Baca juga: Unsur-unsur dan Bentuk Pemalsuan Dokumen
Tindak Pidana Pemalsuan Data Pribadi
Dalam pertanyaan, Anda menyebutkan beberapa surat yang dipalsukan. Berkaitan dengan hal ini, kami memberikan contoh tindakan pemalsuan Kartu Keluarga atau tindakan mengubah/menambah/mengurangi isi KK yang mana di dalamnya memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.[3]
Perlu diketahui bahwa data dalam KK termasuk data kependudukan yang terdiri atas data perseorangan mencakup antara lain nomor KK, nama lengkap, Nomor Induk Kependudukan (“NIK”), jenis kelamin, tempat lahir, tanggal/bulan/tahun lahir, golongan darah, status perkawinan, dan lain-lain.[4] Kemudian dalam aspek pelindungan data pribadi, data-data tersebut termasuk ke dalam data pribadi yang bersifat umum.[5]
Menurut Pasal 66 UU PDP, setiap orang dilarang membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Pelaku yang melanggar ketentuan larangan pemalsuan data pribadi berpotensi dijerat Pasal 68 UU PDP yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar. Bahkan selain pidana, pelaku bisa dijatuhi pidana tambahan perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.[6]
Dengan demikian, ancaman hukuman pemalsuan dokumen bagi pelaku, selain dapat dijerat dengan pasal pemalsuan surat dalam KUHP dan UU 1/2023 juga dapat dijerat Pasal 66 jo. Pasal 68 UU PDP dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar.
Baca juga: Jerat Hukum Pemalsuan Identitas Menurut KUHP dan UU PDP
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Referensi:
- R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
- Fotokopi, yang diakses pada 27 September 2023, pukul 16.30 WIB;
- Memindai, yang diakses pada 27 September 2023, pukul 16.30 WIB;
- Menyunting, yang diakses pada 27 September 2023, pukul 16.30 WIB.
[2] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023.
[4] Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU 24/2013.