Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa Anda dan suami Anda beragama Islam dan telah menikah secara agama menurut hukum Islam.
Perkawinan Wajib Dicatatkan
klinik Terkait:
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, kami ingin menegaskan bahwa merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yang mengharuskan setiap perkawinan dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh pegawai pencatat nikah.[1]
Pencatatan perkawinan ini penting sekali, sebab jika tidak dicatat, meskipun sah di mata agama, namun perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara. Akibatnya, anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum di hadapan negara, sebagaimana kami kutip dari Begini Repotnya Dampak Hukum Nikah Siri.
Tak hanya itu, nikah siri juga menimbulkan konsekuensi hukum lainnya, di antaranya:
- Anak yang lahir berstatus sebagai anak luar kawin
Dikutip dari Akta Kelahiran untuk Anak Hasil Kawin Siri, anak yang dilahirkan oleh pasangan nikah siri merupakan anak luar kawin. Akibatnya, anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
berita Terkait:
- Berpotensi dijerat pasal perzinahan dalam KUHP
Apabila salah satu atau keduanya telah memiliki pasangan suami/istri yang sah, nikah siri dapat memberi ruang delik perzinahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang hanya bisa dituntut berdasarkan adanya pengaduan dari suami/istrinya (delik aduan).
Sehingga, untuk mengantisipasi terjadinya konsekuensi hukum sebagaimana dimaksud di atas, kami menyarankan sebaiknya Anda untuk segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Baca juga: Isbat Nikah: Prosedur, Syarat, dan Implikasi Hukumnya
Pasangan Nikah Siri Bisa Membuat Kartu Keluarga
Kemudian menjawab pertanyaan Anda, mengenai bisa atau tidaknya pasangan yang menikah siri membuat Kartu Keluarga (“KK”), sepanjang penelusuran kami, belum ada aturan yang secara eksplisit mengatur pasangan suami-istri yang menikah siri untuk membuat KK.
Namun demikian, Zudan Arif Fakrulloh selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (“Dukcapil”) Kementerian Dalam Negeri, dalam akun Instagram miliknya menegaskan semua penduduk Indonesia wajib terdata di dalam kartu keluarga. Pasangan yang menikah siri dapat dimasukkan ke dalam 1 KK.
Namun Zudan turut menegaskan bahwa Dukcapil tidak menikahkan, tetapi hanya mencatat telah terjadinya perkawinan. Nantinya, di dalam KK akan ditulis keterangan “kawin belum tercatat”.
Zudan menerangkan untuk membuat KK tersebut, pasangan nikah siri harus melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (“SPTJM”), kebenaran pasangan suami-istri diketahui oleh 2 orang saksi.
Menanggapi kebijakan tersebut, Wirdyaningsih, dosen Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat, di satu sisi, kebijakan tersebut harus dihargai karena mendukung kerapihan administrasi. Namun, solusi yang diberikan tersebut belum menyelesaikan permasalahan, bahkan mungkin berpotensi menimbulkan permasalahan baru.
Sebab, dalam praktik, nikah siri dilangsungkan karena adanya kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan perkawinan tersebut dapat dicatatkan oleh negara, misalnya perkawinan poligami yang dilangsungkan tanpa izin istri pertama, perkawinan di bawah umur yang tidak mendapatkan dispensasi kawin dari pengadilan, atau karena adanya halangan perkawinan.
Selain itu, Wirdyaningsih juga menyinggung apakah dalam pengeluaran kebijakan tersebut sudah ada koordinasi dengan para pihak terkait, seperti pengadilan agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (“Kementerian PPPA”).
Karena sebenarnya pengadilan agama telah memberikan solusi bagi pasangan nikah siri yang perkawinannya belum tercatat dengan adanya itsbat nikah untuk mengesahkan perkawinan tersebut, untuk kemudian diberikan akta nikah. Dengan adanya itsbat nikah, pengadilan bisa menyeleksi mana perkawinan yang memang sudah sesuai dengan persyaratan perkawinan atau belum, serta dilakukan tanpa adanya larangan perkawinan. Hal ini penting mengingat calon mempelai yang memiliki larangan perkawinan dilarang untuk menikah. Sayangnya, masih banyak masyarakat awam yang belum memahami adanya larangan perkawinan ini.
Selain itu, koordinasi dengan Kementerian PPPA juga penting dilakukan. Sebab, praktik nikah siri ini kerap merugikan pihak perempuan dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Di sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan tersebut berpotensi meningkatkan angka perkawinan tak tercatat, yang tentunya berpotensi merugikan lebih banyak perempuan dan anak.
Senada dengan hal tersebut, A. Tholabi Kharlie, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Nikah Siri Ditulis di KK, Ini Kata Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, berpendapat bahwa keberadaan nomenklatur “nikah/kawin belum tercatat” ini justru berdampak kepada ketidakpastian hukum terhadap perempuan.
Sebab, dalam administrasi KUA tidak dikenal nomenklatur “nikah/kawin belum tercatat”. Selain itu, jika terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“KDRT”), pelaku berpotensi tidak dapat dijerat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun hanya bisa dijerat tindak pidana umum.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
Instagram, diakses pada 13 Oktober 2021 pukul 17.00 WIB.
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara via telepon dengan Dr. Wirdyaningsih, S.H., M.H., dosen Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Rabu, 13 Oktober 2021 pukul 09.00 WIB.
[1] Pasal 5 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)