Unsur-Unsur Kepailitan
Syarat-syarat kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”) adalah:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Adapun unsurnya sebagai berikut:
- Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor;
- Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Atas permohonan debitor sendiri atau atas permohonan satu atau lebih kreditor;
Unsur di atas sifatnya kumulatif, sehingga nantinya dapat dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan apabila memenuhi semua unsur tersebut.
Kepailitan Lintas Batas Negara
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam buku Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran (hal. 503) dalam hal berlangsungya perdagangan yang transnasional, apabila bisnis dalam perdagangan tersebut mengalami kegagalan, maka dapat terjadi, baik aset debitur maupun para krediturnya berada di berbagai yurisdiksi (multiple jurisdiction). Oleh karena hukum kepailitan merupakan hukum nasional yang hanya berlaku di wilayah negara dari hukum yang bersangkutan, maka hukum kepailitan suatu negara tidak dapat menjangkau kepailitan yang terjadi di negara lain.
Dikemukakan dalam Library Briefing tanggal 21 Februari 2013, cross-border insolvency (kepailitan lintas batas negara) terjadi apabila aset atau utang seorang debitur terletak di lebih dari satu negara, atau apabila debitur termasuk jurisdiksi pengadilan dari dua atau lebih negara.
Istilah “hukum kepailitan transnasional” atau dikenal dengan istilah lain, yaitu “hukum kepailitan lintas batas negara”. Dalam bahasa Inggris digunakan dengan beberapa istilah, yaitu transnational bankcruptcy, cross-border bankcruptcy, transnational insolvency dan cross-border insolvency.
Tapi kami akan memakai istilah cross-border insolvency (“CBI”). Kemudian jika melihat pertanyaan Anda, yang Anda maksud tentang CBI terkait eksekusi harta pailit lintas yurisdiksi.
Eksekusi Harta Pailit Lintas Yurisdiksi
Dalam artikel Revisi UU Kepailitan Buka Pintu Eksekusi Putusan Asing yang Akui Putusan Indonesia, dijelaskan bahwa belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur perihal CBI.
Kita dapat melihat regional yang sudah terdapat regulasi mengenai CBI seperti The European Community Regulation Insolvency Proceedings dibuat berdasarkan suatu EC Treaty, yang berlaku diseluruh Uni Eropa (the European Union), kecuali Denmark dan langsung dapat diterapkan terhadap setiap negara anggota. Regulasi di atas berlaku bagi setiap insolvency proceedings yang diajukan dan diperksa di Uni Eropa.[1]
Perjanjian lain, The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), yaitu suatu lembaga yang didirikan oleh PBB (the United Nations) pada 17 Desember 1966 telah mengeluarkan beberapa Model Law mengenai CBI. Salah satunya adalah Model Law on Cross-Border Insolvency (1977) yang didesain untuk membantu negara-negara untuk melengkapi hukum kepailitan negara masing-masing dengan suatu modern legal framework agar lebih efektif dalam menangani CBI proceeding menyangkut para debitur yang mengalami masalah finansial yang gawat atau mengalami insolvensi. Model Law tersebut memfokuskan pada pemberian otorisasi dan mendorong kerja sama dan koordinasi di antara berbagai jurisdiksi, daripada berusaha untuk mendorong unifikasi dari hukum kepailitan substantif, dan menghormati perbedaan di antara hukum acara nasional dari negara-negara tersebut.[2]
Ketentuan penting yang diatur dalam the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency menurut Sutan Remy Sjahdeini (hal. 518) bahwa the Model Law tersebut memfokuskan pada empat unsur yang merupakan kunci dalam menangani kepailitan transnasional (CBI cases), yaitu: access, recognition, relief (assistance), dan cooperation.
Masih bersumber dari artikel yang sama, perlu dipahami juga bahwa belum ada perjanjian internasional yang secara khusus mengatur CBI untuk melakukan eksekusi terhadap putusan kepalitan pengadilan Indonesia di luar negeri. Hal ini terkait dengan asas resiprokal (mengakui putusan asing, yang mengakui putusan Indonesia). Jika ingin melaksanakan asas ini, tentu antar negara harus membuat perjanjian internasional secara bilateral agar kedua negara dapat menjalankan putusan kepailitan, dalam hal melaksanakan eksekusi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
- Library Briefing, diakses pada tanggal 29 Januari 2019, pukul 11.15 WIB;
- Sutan Remy Sjahdeini. 2016. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta: Prenadamedia Group.