Pelecehan Seksual oleh Driver, Penyedia Aplikasi Bertanggung Jawab?
Perlindungan Konsumen

Pelecehan Seksual oleh Driver, Penyedia Aplikasi Bertanggung Jawab?

Bacaan 11 Menit

Pertanyaan

Siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan driver yang melakukan pelecehan seksual terhadap penumpang (khususnya wanita)? Apakah sanksi hanya dikenakan terhadap driver atau penyedia aplikasi juga dapat bertanggung jawab? Karena setahu saya penyedia aplikasi lepas tangan dengan menyatakan kalau hal itu adalah tanggung jawab driver semata dan sudah tercantum di perjanjian kemitraan.

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh driver dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU TPKS. Ia bertanggung jawab secara pribadi atas kejahatan yang dilakukannya.

Lantas apakah perusahaan aplikasi angkutan online juga harus bertanggung jawab atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukan driver tersebut? Apa bentuk tanggung jawabnya dan langkah apa yang dapat dilakukan konsumen atau penumpang?

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca dalam ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pelecehan Seksual oleh Driver, Apakah Penyedia Aplikasi Bertanggung Jawab? yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 8 Januari 2019.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Apa itu Pelecehan Seksual?

Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana kekerasan seksual yang diatur di dalam UU TPKS. Adapun, tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU TPKS dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini.[1]

Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: [2] 

  1. pelecehan seksual nonfisik;
  2. pelecehan seksual fisik;
  3. pemaksaan kontrasepsi;
  4. pemaksaan sterilisasi;
  5. pemaksaan perkawinan;
  6. penyiksaan seksual;
  7. eksploitasi seksual;
  8. perbudakan seksual; dan
  9. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual secara fisik seperti dalam kasus driver angkutan online kepada penumpangnya, tercantum di dalam Pasal 6 ayat (1) UU TPKS yang berbunyi:

Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Adapun, sanksi terhadap perbuatan seksual secara nonfisik tercantum dalam Pasal 5 UU TPKS yang berbunyi:

Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pelecehan seksual nonfisik dan pelecehan seksual secara fisik merupakan delik aduan.[3] Artinya, kejahatan ini baru dapat di proses secara hukum bila ada yang melapor atau mengadukan suatu perbuatan pelecehan seksual yang terjadi.

Jika dicermati unsur Pasal 5 dan Pasal 6 UU TPKS yang menyebutkan ‘setiap orang’ dan diikuti dengan perbuatan pelecehan seksual yang dimaksud, maka terhadap sanksi pidana ini tentunya hanya dapat dikenakan terhadap driver sebagai pelaku kejahatan tersebut.

Baca juga: Perbedaan Delik Biasa Dan Delik Aduan Beserta Contohnya

Hubungan Driver dengan Penyedia Aplikasi Angkutan Online

Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu apa hubungan antara driver dengan perusahaan penyedia aplikasi angkutan online. Seringkali disebutkan antara keduanya hanya memiliki hubungan kemitraan (partnership agreement)

Umar Kasim dalam artikelnya Menghindari Penyelundupan Hukum dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan menjelaskan bahwa perjanjian kemitraan adalah bentuk umum suatu hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak lainnya atas dasar hubungan kemitraan (partnership agreement).

Asep Iswahyudi Rachman dalam jurnal berjudul Perlindungan Hukum Dengan Hak-Hak Pekerja Di PT Grab Semarang, menjelaskan dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.[4]

Suatu hubungan kerja timbul dari perjanjian kerja, bukan perjanjian kemitraan. Jadi perjanjian antara driver dengan pihak penyedia aplikasi adalah perjanjian kemitraan, sehingga UU Ketenagakerjaan tidak bisa dijadikan landasan hukum. Kedua pihak terikat dengan perjanjian biasa, dalam hal ini kembali dan tunduk pada aturan-aturan KUH Perdata bagian perjanjian[5] yakni Pasal 1338 jo. Pasal 1320 KUH Perdata.

Sedangkan, secara khusus, perjanjian kemitraan juga bisa merujuk pada ketentuan persekutuan perdata dalam Pasal 1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata tentang persekutuan perdata.[6]

Dengan demikian, karena hubungan driver dengan penyedia aplikasi berdasarkan perjanjian kemitraan, maka yang terjadi adalah bukan hubungan kerja atasan bawahan yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah, melainkan kesetaraan antara para pihak dalam hubungan kemitraan tersebut. Hal ini karena dalam hubungan kemitraan tidak ada unsur upah dan perintah.

Baca juga: Hubungan Antara Penyedia Aplikasi, Driver, dan Penumpang

Tanggung Jawab Penyedia Aplikasi Angkutan Online atas Pelecehan Seksual oleh Driver

Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami sampaikan tentang angkutan online. Angkutan online pada dasarnya diatur dalam Permenhub 118/2018 tentang angkutan sewa khusus.

Dalam Pasal 1 angka 7 Permenhub 118/2018, angkutan sewa khusus didefinisikan sebagai berikut:

Angkutan Sewa Khusus adalah pelayanan Angkutan dari pintu ke pintu dengan pengemudi, memiliki wilayah operasi dalam wilayah perkotaan, dari dan ke bandar udara, pelabuhan, atau simpul transportasi lainnya serta pemesanan menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi, dengan besaran tarif tercantum dalam aplikasi.

Adapun, yang dimaksud dengan perusahaan aplikasi adalah penyelenggara sistem elektronik yang menyediakan aplikasi berbasis teknologi di bidang transportasi darat. [7]

Perlu diperhatikan juga bahwa pelayanan angkutan sewa khusus harus memenuhi kriteria pelayanan antara lain:[8]

  1. wilayah operasi berada di dalam kawasan perkotaan, dari dan ke bandar udara, pelabuhan, atau simpul transportasi lainnya;
  2. tidak berjadwal;
  3. pelayanan dari pintu ke pintu;
  4. tujuan perjalanan ditentukan oleh pengguna jasa;
  5. besaran tarif angkutan tercantum pada aplikasi berbasis teknologi informasi;
  6. memenuhi standar pelayanan minimal; dan
  7. pemesanan dilakukan melalui aplikasi berbasis teknologi informasi.

Pelayanan angkutan sewa khusus menggunakan kendaraan bermotor umum dengan batasan kapasitas silinder paling sedikit 1.000 (seribu) sentimeter kubik yang meliputi:[9]

  1. mobil penumpang sedan; dan/atau
  2. mobil penumpang bukan sedan.

Kami asumsikan juga bahwa kendaraan yang digunakan oleh driver dalam kasus yang Anda sampaikan adalah mobil, sehingga dapat tercakup pengaturannya oleh Permenhub 118/2018 ini.

Disebutkan bahwa kewajiban perusahaan aplikasi di antaranya adalah mengutamakan keselamatan dan keamanan transportasi serta memberikan perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[10]

Selain itu, dalam Pasal 32 ayat (2) Permenhub 118/2018 dijelaskan mengenai perlindungan terhadap penumpang paling sedikit meliputi:

  1. keselamatan dan keamanan;
  2. kenyamanan;
  3. layanan pengaduan dan penyelesaian permasalahan penumpang;
  4. kepastian mendapatkan layanan angkutan; dan
  5. kepastian tarif Angkutan Sewa Khusus sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan per kilometer.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka perusahaan aplikasi juga memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang.

Langkah Hukum Bagi Penumpang

Jika penumpang merasa dirugikan oleh perusahaan aplikasi, tentunya ia bisa mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap perusahaan aplikasi tersebut atas dasar Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi:

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, (hal. 117), dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:

  1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
  2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
  3. Bertentangan dengan kesusilaan
  4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Baca juga: Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana

Perusahaan aplikasi seharusnya melakukan screening terhadap driver, selain dari segi kemampuan berkendara juga secara kepribadian atau aspek psikologisnya. Perlu dilihat kembali aturan-aturan atau perjanjian mitra antara driver dan perusahaan penyedia aplikasi tersebut. Pun juga telah diatur mengenai standar pelayanan minimal angkutan sewa khusus yang dapat dilihat dalam Lampiran Permenhub 118/2018.

Untuk melakukan gugatan PMH sebagaimana di atas, tentunya penumpang memiliki hak untuk menggugat driver maupun perusahaan penyedia aplikasi, meskipun nantinya yang mengabulkan gugatannya adalah hakim.

Bagaimana Jika Penyedia Aplikasi Lepas Tanggung Jawab?

Apabila penyedia aplikasi berdalih dengan mencantumkan klausul tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh driver dalam perjanjian kemitraan, maka menurut hemat kami, hal tersebut  bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan pasal tersebut,  perusahaan aplikasi sebagai pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha dalam menawarkan jasa.

Menurut Ahmad Fikri Assegaf dalam bukunya Penjelasan Hukum Tentang Klausula Baku (hal. 9), konsekuensi dari pencantuman klausula baku yang dilarang tersebut, baik dari sisi substansi maupun bentuknya menurut Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen menyebabkan dokumen atau perjanjian terkait dinyatakan batal demi hukum.

Dasar pembatalan klausula baku dapat didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata, khususnya Pasal 1254 KUH Perdata, dapat dilakukan berdasarkan dua konsep pokok, yaitu:

  1. Unconscionability, jika klausula terkait bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, atau itikad baik/kewajaran dan kepatutan; dan 
  2. Undue influence, jika terdapat kedudukan atau pengaruh tidak seimbang yang mengakibatkan cacatnya kehendak salah satu pihak dalam menyepakati berlakunya tersebut.

Penyedia aplikasi sebagai pelaku usaha memiliki tanggung jawab terhadap kerugian yang dirasakan oleh penumpang. Sebagaimana diatur di Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal ini, penumpang sebagai konsumen berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.[11] Selain itu, penumpang dapat mengajukan gugatan yang ditujukan kepada penyedia aplikasi ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) yang nantinya diputus paling lambat 21 hari kerja setelah gugatan diterima.[12]

Terkait kerugian penumpang yang diderita akibat perusahaan aplikasi dan driver-nya, sebagai informasi tambahan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan juga oleh:[13]

  1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
  2. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
  3. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen;
  4. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila jasa yang dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
  4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  5. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 17 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus.

Referensi:

  1. Ahmad Fikri Assegaf. 2014. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK): Jakarta;
  2. Asep Iswahyudi Rachman. Perlindungan Hukum Dengan Hak-Hak Pekerja Di PT Grab Semarang. Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1. No. 1 Maret 2018;
  3. Luthvi Febryka Nola, Perjanjian Kemitraan vs Perjanjian Kerja Bagi Pengemudi Ojek Online, Info Singkat, Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol X, No. 07/I/Puslit/April/2018;
  4. Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia.

[2] Pasal 4 ayat (1) UU TPKS

[3] Pasal 7 ayat (1) UU TPKS

[4] Asep Iswahyudi Rachman, Perlindungan Hukum Dengan Hak-Hak Pekerja Di PT Grab Semarang, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1. No. 1 Maret 2018, hal. 236

[5] Asep Iswahyudi Rachman, Perlindungan Hukum Dengan Hak-Hak Pekerja Di PT Grab Semarang, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1. No. 1 Maret 2018, hal. 236

[6] Luthvi Febryka Nola, Perjanjian Kemitraan vs Perjanjian Kerja Bagi Pengemudi Ojek Online, Info Singkat, Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol X, No. 07/I/Puslit/April/2018, hal. 2

[8] Pasal 3 ayat (1) Permenhub 118/2018

[9] Pasal 4 dan 5 huruf a Permenhub 118/2018

[10] Pasal 28 ayat (1) huruf b dan c Permenhub 118/2018

[11] Pasal 4 huruf e UU Perlindungan Konsumen

[12] Pasal 55 UU Perlindungan Konsumen

[13] Pasal 46 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen

Tags: