Timbulnya Pewarisan dalam Islam
Manusia sebagai subjek hukum berawal ketika lahir dan berakhir karena meninggal. Meninggalnya seseorang menjadi alasan berakhirnya subjek hukum sehingga hak dan kewajiban akan beralih kepada ahli warisnya. Namun yang beralih adalah hak dan kewajiban di bidang hukum harta kekayaan saja, sedangkan hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga tidak dapat beralih ke ahli warisnya.
klinik Terkait:
Pewarisan akan terjadi apabila syarat-syarat dari pewarisan terpenuhi, yaitu:
- Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.[1]
- Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[2]
- Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.[3]
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
- perkawinan;
- waris;
- wasiat;
- hibah;
- wakaf;
- zakat;
- infaq;
- shadaqah; dan
- ekonomi syari’ah.
Merujuk pada pasal tersebut, Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Waris Islam Edisi Revisi, dalam hal kewarisan Islam berlaku bagi semua orang yang beragama Islam. Hukum waris islam disebut dengan istilah faraid, yang berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari faridah yang berarti bagian tertentu dari warisan (hal. 4).
Masih dari sumber buku yang sama, dalam ilmu faraid, penyebab terjadinya warisan adalah (hal. 18):
- Hubungan kerabat atau nasab, seperti ayah, ibu, anak, cucu, saudara kandung seayah seibu dan sebagainya.
- Hubungan perkawinan, yaitu suami atau istri, meskipun belum pernah berkumpul atau telah bercerai tetapi masih dalam masa ’iddah talak raj’i.
- Hubungan walak, yaitu hubungan antar bekas budak dan orang yang memerdekakannya apabila bekas budak itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak menhabiskan seluruh harta warisan.
- Tujuan Islam (jihatul islam), yaitu baitul maal perbendaharaan negara), yang menampung harta warisan orang yang tidak meninggalan ahli waris sama sekali.
Kemudian, kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:[4]
1. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.[5]
berita Terkait:
Walaupun syarat-syarat dan sebab pewarisan terpenuhi, tidak serta merta akan terjadi pewarisan apabila ahli waris tidak beragama Islam.[6] Selain harus beragama islam, seseorang terhalang menjadi ahli waris jika dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena:[7]
- dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
- dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, yang berhak menjadi ahli waris dari pewaris adalah saudara-saudaranya karena pewaris sudah tidak memiliki ayah dan ibu serta tidak menikah dan tidak mempunyai keturunan.
Pembagian Warisan untuk Saudara Kandung
Adapun bagian untuk saudara laki-laki dan perempuan adalah 2 berbanding 1.[8] Pewaris dalam hal ini mempunyai 1 saudara laki-laki dan 4 saudara perempuan. Bagian saudara laki-laki adalah 1/3 bagian dari total harta warisan, sedangkan untuk bagian saudara perempuan masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan.
Terkait pewaris tidak pernah bertegur sapa dengan saudara laki-lakinya, tidak mempengaruhi saudara laki-laki untuk tetap menjadi ahli waris karena pada dasarnya hukum waris Islam menganut asas ijbari, yaitu peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
Menurut asas ijbari sangat jelas bahwa seorang yang mempunyai harta tidak perlu merencakan terhadap hartanya ketika kelak ia meninggal, begitu juga ahli waris mempunyai kewajiban untuk menerima perpindahan hak dan kewajiban dari pewaris ketika meninggal dunia sesuai ketentuan yang telah Allah berikan di luar kehendak yang diinginkan pewaris atau ahli waris.[9]
Atau dengan kata lain, harta dari pewaris akan secara otomatis beralih kepada ahli waris ketika pewaris meninggal dunia.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Referensi:
- Ahmad Azhar Basyir. Hukum Waris Islam Edisi Revisi. Yogyakarta: UII Press, 2001;
- Adnan Qohar, A. Choiri, M. Musich. Hukum Kewarisan Islam, Keadilan, dan Metode Praktis Penyelesainnya. Surabaya: Pustaka Biru, 2011.
[1] Pasal 171 huruf b Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
[2] Pasal 171 huruf c KHI
[3] Pasal 171 huruf e KHI
[4] Pasal 174 ayat (1) KHI
[5] Pasal 174 ayat (2) KHI
[6] Pasal 171 huruf c KHI
[7] Pasal 173 KHI
[8] Pasal 182 KHI
[9] Adnan Qohar, A. Choiri, M. Musich. Hukum Kewarisan Islam, Keadilan, dan Metode Praktis Penyelesainnya. Surabaya: Pustaka Biru, 2011, hal. 55.