Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pembagian Warisan WNA Muslim dalam Perkawinan Campuran

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Pembagian Warisan WNA Muslim dalam Perkawinan Campuran

Pembagian Warisan WNA Muslim dalam Perkawinan Campuran
Dr. Nur Jihad, S.H., M.H. PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Bacaan 10 Menit
Pembagian Warisan WNA Muslim dalam Perkawinan Campuran

PERTANYAAN

Ayah saya seorang WNA baru saja meninggal dunia. Kedua orang tua saya melangsungkan perkawinan secara Islam di Indonesia. Bagaimana cara pembagian warisan ayah saya yang punya aset di luar negeri dan di Indonesia? Ibu saya WNI masih hidup dan kami 3 bersaudara (belum menikah, masih kuliah dan sekolah).

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perbedaan kewarganegaraan dalam kewarisan Islam bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pembagian warisan. Bagi orang Islam berlaku ketentuan hukum kewarisan Islam.

    Mengenai administrasi pengurusan harta warisan yang ada di luar negeri berlaku ketentuan yang ada di masing-masing negara tersebut. Misalnya mengenai status kepemilikan terhadap benda tidak bergerak (tanah) di Indonesia, hanya warga negara Indonesia (“WNI”) saja lah yang berhak mempunyai hak milik.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Karakteristik Hukum Islam

    KLINIK TERKAIT

    Perceraian Pasangan Kawin Campur yang Berdomisili di Luar Negeri

    Perceraian Pasangan Kawin Campur yang Berdomisili di Luar Negeri

    Hukum Islam merupakan ketentuan (norma) agama yang berlaku bagi seluruh umat Islam di dunia ini. Karakteristik hukum Islam sebagai  risalah sempurna di antaranya adalah kedinamisan dan keuniversalan,  sehingga dapat diterapkan dan berlaku kapan dan dimana saja sesuai dengan kondisi umat Islam pada khususnya maupun seluruh manusia pada umumnya.

    Salah satu bagian dari hukum Islam adalah ketentuan mengenai kewarisan. Perbedaan kewarganegaraan dalam kewarisan Islam bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pembagian warisan.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Bagi orang Islam berlaku ketentuan hukum kewarisan Islam. Kewajiban untuk menyelesaikan urusan kewarisan menurut hukum Islam, didasarkan pada ajaran Islam sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang menyatakan:[1]

    Bagilah pusaka antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah (Al-Qur’an) (Riwayat Muslim dan Abu Dawud).

    Lebih lanjut, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama sengketa waris antara orang-orang beragama Islam berdasarkan hukum waris Islam.[2]

    Dalam praktik, secara yuridis formal dan operasional berlaku pula ketentuan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (“Kepmen Agama 154/1991”).

     

    Pembagian Warisan Menurut Hukum Waris Islam

    Sebelumnya Anda tidak menyebutkan jenis kelamin ahli waris anak-anak tersebut. Apabila pewaris meninggalkan seorang isteri (janda) dan 3 orang anak yang semuanya laki-laki, maka bagian isteri (janda) adalah 1/8 dan sisanya (ashabah) menjadi hak serta dibagi kepada 3 anak laki-laki.[3]

    Sementara jika ahli waris terdiri dari seorang istri (janda) dan 3 orang anak (laki-laki dan perempuan), maka bagian istri (janda) adalah 1/8 dan sisanya menjadi hak anak laki-laki dan perempuan dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.[4]

    Lain halnya apabila ahli waris terdiri dari seorang istri (janda) dan 3 orang anak perempuan, maka bagian istri (janda) 1/8, sedangkan 3 anak perempuan bagiannya adalah 2/3. Dikarenakan terjadi rad,[5] maka dengan demikan bagian istri (janda) menjadi 3/19, sedangkan 3 anak perempuan 16/19.

    Dasar ketentuan pembagian di atas diatur dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 11:

    Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

     

    Kemudian Surat An-Nisa ayat 12:

    Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

    Sedangkan Pasal 176 KHI mengatur:

    Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

    Kemudian patut diperhatikan bunyi Pasal 180 KHI:

    Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

     

    Warisan dari Perkawinan Campuran

    Perlu Anda ketahui, perkawinan yang Anda maksud dikenal dengan nama perkawinan campuran yang disebut dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

    Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

    Selanjutnya menjawab pertanyaan Anda, mengenai administrasi pengurusan harta warisan yang ada di luar negeri berlaku ketentuan yang ada di masing-masing negara tersebut.

    Khusus terkait kepemilikan terhadap benda tidak bergerak (tanah) di masing-masing negara juga memiliki ketentuan tersendiri sebagai subjek hak milik. Misalnya di Indonesia, hanya warga negara Indonesia (“WNI”) saja lah yang berhak mempunyai hak milik.[6]

    Berkaitan dengan masalah kewarganegaraan ketiga anak sebagaimana kasus di atas, jika belum berusia 18 tahun, maka statusnya merupakan WNI mengacu Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU 12/2006”) yang berbunyi:

    WNI adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia.

    Namun demikian, apabila ketentuan di atas mengakibatkan kewarganegaraan ganda, maka setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak yang bersangkutan harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.[7]

    Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan dalam waktu paling lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin. [8]

    Hal ini dikarenakan UU 12/2006 pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam UU 12/206 merupakan suatu pengecualian.[9]

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
    2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
    3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
    5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

     

    Referensi:

    Fatchur Rahman. Ilmu Mawaris. Bandung: Al-Ma’arif, 1971.


    [1] Fatchur Rahman. Ilmu Mawaris. Bandung: Al-Ma’arif, 1971, hal. 34

    [2] Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

    [3] Pasal 180 KHI

    [4] Pasal 176 KHI

    [5] Pasal 193 KHI

    [6] Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

    [7] Pasal 6 ayat (1) UU 12/2006

    [8] Pasal 6 ayat (3) UU 12/2006

    [9] Penjelasan Umum UU 12/2006

    Tags

    keluarga
    warisan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!