Bagaimana cara untuk melaporkan seseorang yang telah mencemarkan nama baik anggota keluarga? Saya geram sekali dengan tindakan si pelaku yang terus menerus menuduh tanpa bukti dan berkoar-koar di akun media sosialnya. Saya ingin dia jera dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Terima kasih sebelumnya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Dalam hal adanya dugaan pencemaran nama baik, berlaku delik aduan di mana hanya korban pencemaran nama baik itulah yang berhak melaporkan ke kepolisian.
Namun, untuk menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif, Kepolisian baru saja menerbitkan pedoman yang harus diikuti penyidik kepolisian dalam menangani perkara terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya. Apa saja?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Hal tersebut berarti semua tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) termasuk ke dalam tindak pidana siber dalam arti luas sepanjang dilakukan dengan sarana atau dengan bantuan sistem elektronik.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Pencemaran nama baik yang dilakukan melalui sistem elektronik dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 sebagai berikut:
Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Setiap orang
Penyebar dapat menjadi tersangka/terdakwa jika penyebar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus dianalisis secara mendalam siapa penyebar utama konten tersebut.
Dengan sengaja dan tanpa hak
Unsur ini harus dibuktikan kepada siapa penyebar memberitahukan konten tersebut dan dengan tujuan apa. Harus dibuktikan, apa tujuan konten untuk menjelek-jelekan secara personal atau untuk memberi tahu adanya dugaan suatu tindak pidana.
Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
Unsur ini sudah terpenuhi jika konten tersebut dapat diakses oleh berbagai pihak dan diketahui oleh umum.
Bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Unsur ini harus dikritisi dan dianalisis lebih lanjut dengan bantuan ahli bahasa (expert).
Apabila tindakan seseorang yang Anda maksud memenuhi unsur-unsur di atas, maka ia dapat dijerat dengan pasal tersebut.
Siapa yang Berhak Melapor?
Pencemaran nama baik (belediging) menjadi tindak pidana jika ada pengaduan dari korban (delik aduan).
Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Namun, ada baiknya persoalan ini diselesaikan dengan jalur lain di luar pidana terlebih dahulu, seperti membicarakan baik-baik secara kekeluargaan dengan pelaku.
Sebab mengingat salah satu asas hukum pidana ialah ultimum remedium yang berarti hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dalam Laporan Tahunan SAFEnet 2018 mencatat terdapat 292 putusan kasus pidana khusus ITE di tahun 2018 menurut Mahkamah Agung. Berdasarkan data tersebut, tindak pidana pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo. Pasal 45 ayat 3 UU 19/2016 menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan (hal. 15). Bahkan dari Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019, pencemaran nama baik (defamasi) paling banyak terjadi (hal. 6).
Dilansir dari laman Divisi Humas Polri dalam Kapolri Terbitkan Surat Edaran Penanganan Kasus UU ITE, Ini Isinya, untuk menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif, diterbitkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif (“SE Kapolri 2/2021”).
Dalam SE tersebut, penyidik Polri yang menerima laporan terkait UU ITE diminta memedomani di antaranya:
Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
Sejak penerimaan laporan, penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Melalui Penyelesaian Perkara Pidana dengan Prinsip Keadilan Restoratif menerangkan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) ialah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Jadi dalam hal ada dugaan tindak pidana siber berupa pencemaran nama baik, harus ada aduan dari korban untuk melaporkan tindak pidana tersebut ke kepolisian.
Namun, sebelum dibawa ke pengadilan, penyidik polri sepatutnya mengedepankan prinsip restorative justice, yang berfokus pada pencarian penyelesaian yang adil dan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semua sebagaimana di atas.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.