Mulai September tahun 2011 ini, Perusahaan tempat saya bekerja mulai memberlakukan kewajiban untuk mengambil cuti hamil 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, sehingga karyawati yang tidak mengambil hak cutinya 1,5 bulan sebelum melahirkan hak cutinya akan hangus karena hak cutinya tidak bisa dihitung mundur. Apakah implementasi dari penjelasan UU No. 13 Tahun 2003, Pasal 82 memang seperti itu?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Mengutip penjelasan pada artikel jawaban Hak Cuti Hamil Karyawan Rumah Sakit, Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat (cuti) selama 1,5 bulan – atau kurang lebih 45 hari kalender - sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Artinya, hak cuti hamil selama 1,5 bulan dan hak cuti melahirkan 1,5 bulan, telah diberikan oleh undang-undang secara normatif dengan hak upah penuh atau berupah/ditanggung selama menjalani cuti hamil dan cuti melahirkan tersebut (lihat Pasal 82 ayat [1] jo. Pasal 153 ayat [1] huruf e UUK).
Namun memang pada praktiknya, pekerja/buruh perempuan yang sedang hamil mungkin tak selalu mudah menentukan kapan bisa mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan. Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya.
Meminjam penjelasan dari artikel Perhitungan Hak Cuti Jika Melahirkan Prematur, apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti bersalin/melahirkan. Anda tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 (tiga) bulan. Artinya, dalam kondisi yang demikian hak cuti hamil/melahirkan anda tidak akan hangus.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf d UU No. 13/2003 jo. 1320 ayat (4) dan 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatayang menyatakan bahwa pengusaha yang akan mengatur/memperjanjikan hak cuti hamil dan cuti melahirkan, baik dalam perjanjian kerja (“PK”) dan/atau dalam peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”), tidak boleh mengatur/memperjanjikan kurang (menyimpang) dari ketentuan normatif yang sudah menjadi hak pekerja/buruh.
Sebaliknya, jika terdapat peraturan yang menyimpang mengenai hal tersebut dalam PK atau PP atau PKB, maka klausul (yang menyimpang) tersebut batal demi hukum - null and void, van rechtswege. Karena secara umum, syarat sahnya pengaturan atau perjanjian, - antara lain - tidak boleh melanggar undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Sehingga, dalam kaitan dengan hak cuti hamil dan melahirkan tersebut, pengusaha/para pihak hanya dapat mengatur/memperjanjikan (misalnya) pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau menyepakati pergeseran waktunya, dari masa cuti hamil ke masa cuti melahirkan, baik sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan atau kurang lebih 90 hari kalender.
Selain itu diatur juga dalam penjelasan Pasal 82 ayat (1) UUK bahwa lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.
Menurut hemat kami, surat keterangan dokter kandungan atau bidan ini pada akhirnya menjadi penentu berapa lama Anda dapat mengambil cuti. Apabila kemudian karena alasan kesehatan, dokter kandungan menganggap Anda memerlukan waktu istirahat (Cuti) lebih dari 3 bulan sebelum atau setelah anda melahirkan, maka Anda dapat mengajukan cuti sesuai waktu yang direkomendasikan dokter kandungan atau bidan.