Pengakuan Pelaku
Hukum pembuktian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
klinik Terkait:
Sehingga, setidaknya ada 2 rumusan yang bisa disimpulkan dari pasal di atas yaitu:
- penjatuhan pidana kepada terdakwa dilakukan dengan membuktikan kesalahannya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
- minimal dua alat bukti sah tersebut membuat hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Bunyi pasal di atas dalam teori pembuktian sering disebut sebagai teori pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie dalam artian pembuktian yang didasarkan pada kecukupan minimal alat bukti dalam undang-undang untuk menimbulkan keyakinan hakim dalam memutus kesalahan terdakwa.
Adapaun alat bukti dalam hukum acara pidana ini diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
- Alat bukti yang sah ialah:
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Berdasarkan macam-macam alat bukti sebagaimana disebutkan sebelumnya, pengakuan pelaku dapat dikategorikan sebagai alat bukti keterangan terdakwa.
Keterangan terdakwa ini hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri.[1] Hal ini bermaksud bahwa pengakuan atau keterangan tersangka/terdakwa hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti dan mengikat dirinya sendiri, serta tidak dapat digunakan membuktikan kesalahan pihak lain.
Mario Lasut dalam jurnalnya berjudul Visum et Repertum sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana pun menyatakan ada atau tidak pengakuan terdakwa, pemeriksaan pembuktian kesalahan terdakwa tetap merupakan kewajiban dalam persidangan. Dalam membuktikan suatu perkara pidana, hakim secara aktif harus mencari dan menemukan kebenaran materiil (kebenaran yang sesungguhnya) (hal. 125).[2]
berita Terkait:
Sehingga menurut hemat kami, pengakuan tidaklah cukup membuktikan suatu tindak pidana, namun tetap diperlukan alat bukti lain misalnya dalam hal ini hasil visum sebagaimana Anda tanyakan.
Baca juga: Alasan Hukum yang Membenarkan Pemasangan Chip dan Kebiri Kimia
Visum et Repertum
Sementara itu, dalam hukum pembuktian dikenal Visum et Repertum yaitu laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atau ahli forensik lainnya yang berisi apa yang mereka temukan pada tubuh korban[3], yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat dan keterangan ahli, yaitu:
- Visum et Repertum sebagai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP yang selengkapnya berbunyi:
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
Hal serupa juga telah ditegaskan melalui artikel Kekuatan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti.
dr. Rorry Hartono kemudian juga menerangkan untuk dapat membantu terangnya suatu tindak pidana, penyidik dapat meminta bantuan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter sebagaimana disebutkan dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP yakni:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
- Alat bukti keterangan ahli dengan melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang mengeluarkan visum et repertum. Hal ini sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 186 KUHAP:
Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.
Dalam hal keterangan ahli dalam bentuk laporan, selanjutnya dapat dibacakan di sidang pengadilan, apabila ahli yang memberikan keterangan itu tidak dapat hadir secara sah dalam sidang.
Kesimpulan
Menjawab pertanyaan Anda, pengakuan pelaku dikategorikan sebagai alat bukti keterangan terdakwa. Namun tetap perlu diperhatikan, pembuktian dalam hukum acara pidana harus memenuhi kecukupan minimal 2 alat bukti yang sah.
Kemudian menyambung pertanyaan terkait visum, Visum et Repertum termasuk sebagai alat bukti surat. Akan tetapi, apabila pihak yang mengeluarkan Visum et Repertum diperiksa dan dimintai keterangannya oleh penyidik atau penuntut umum atau diberikan pada saat persidangan, ini termasuk sebagai alat bukti keterangan ahli.
dr. Rorry pun menegaskan dalam hal dugaan pencabulan anak sebagaimana Anda tanyakan, Visum et Repertum memuat surat keterangan tentang adanya tanda-tanda yang diduga akibat adanya tindak pidana, yang dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.
Baca juga: Bukti Permulaan yang Cukup Sebagai Dasar Penangkapan
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Referensi:
Mario Lasut. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana. Jurnal Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016.
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan dr. Rorry Hartono, Sp.F.M(K)., S.H., M.H. via telepon pada 20 Mei 2021 pukul 14.21 WIB.
[1] Pasal 189 ayat (3) KUHAP
[2] Mario Lasut. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana. Jurnal Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016, hal. 125
[3] Mario Lasut. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana. Jurnal Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016, hal. 120