Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pengaturan Berkaitan dengan Eksekusi

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Pengaturan Berkaitan dengan Eksekusi

Pengaturan Berkaitan dengan Eksekusi
Si PokrolSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pengaturan Berkaitan dengan Eksekusi

PERTANYAAN

Pengaturan Berkaitan dengan Eksekusi (deldol)

Pertanyaan :

 

Meskipun ada pengecualian-pengecualiannya, eksekusi dalam hukum acara pidana maupun perdata, tidak dapat dilakukan jika belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Yang ingin saya tanyakan adalah dimana pengaturan tentang hal tersebut? Selanjutnya, sertifikat tanah yang berada dalam sengketa yang belum diputus apakah masih menjadi milik dari pemilik awal? Pengaturannya bagaimana? Terima kasih banyak.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Bung Deldol yang berbahagia,

     

    Untuk hukum acara pidana, dapat anda lihat ketentuan pasal 270 KUHAP yang berbunyi: Pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Dalam konteks hukum acara pidana, putusan pengadilan pada prinsipnya memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila tidak ada upaya hukum lagi yang terbuka bagi terpidana.

     

    Untuk hukum acara perdata, ada baiknya anda buka pasal 180 ayat (1) HIR yang menentukan: Biarpun orang membantah putusan hakim pengadilan negeri atau meminta apel, maka pengadilan negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan dahulu, jika ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan putusan hakim yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula didalam perselisihan tentang hak milik.

     

    Peraturan di atas memang sebenarnya menyangkut putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad). Tafsir Mr. Rutgers yang dikutip oleh Mr. R. Tresna dalam Komentar HIR (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, Cetakan Kedelapanbelas, hlm. 159-161), juga menjelaskan isi ketentuan pasal tersebut mungkin saja mengesankan bahwa semua keputusan pengadilan negeri tidak dapat dijalankan sebelum memperoleh kekuatan yang pasti (kracht van gewijsde), meskipun sejatinya tidak ada satu pun ketentuan yang (secara tegas) membenarkan kesan tersebut. Bahkan, menurut Mr. Rutgers, keputusan-keputusan Pengadilan Negeri selalu dapat segera dijalankan, karena di dalam HIR tidak terdapat aturan yang menyatakan (baik secara eksplisit, maupun implisit) bahwa apel (banding, red.) menghalangi dijalankannya keputusan hakim, sebagaimana tercantum di dalam pasal 54 Reglemen acara perdata dimuka Pengadilan Raad Justisi dan Hooggerechtshof (di dalam pasal 54 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) disebutkan: Pelaksanaan sementara putusan-putusan hakim meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan bila [...]).

     

    Terlepas dari adanya tafsir Mr. Rutgers di atas, Mr. R. Tresna sendiri menuliskan bahwa pada umumnya orang beranggapan, bahwa keputusan hakim dapat dijalankan [...] ialah setelah keputusan itu memperoleh kekuatan yang pasti, jadi setelah lewat waktu buat mengadakan perlawanan, apel atau kasasi.

     

    Jadi, seperti pendapat Mr. Rutgers, memang barangkali tidak ada aturan yang jelas tentang hubungan antara eksekusi dengan kekuatan hukum yang pasti (tetap). Namun, tidak salah juga apabila hal tersebut ditafsirkan dari 'sebuah aturan umum' yang perkecualiannya diatur di dalam pasal 180 ayat (1) HIR di atas. Apalagi, kalau kita melihat masalah ini dalam konteks pasca kemerdekaan, maka pemisahan antara rezim HIR (untuk bangsa pribumi) dan Rv (untuk bangsa Eropa dan yang disejajarkan) tidak lagi relevan. SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001 sebagai aturan penjelas dari pasal 180 ayat (1) HIR tentang putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), misalnya, juga turut mempertimbangkan ketentuan di dalam pasal 54 Rv.

     

    Pada dasarnya, sekalipun ada sengketa, kedudukan berkuasa yang ada tetap tidak berubah (untuk yang beritikad baik diatur di dalam pasal 548 ayat (1) KUH Per, sedang untuk yang beritikad buruk di dalam pasal 549 ayat (1) KUH Per), sampai ada putusan pengadilan. Disebutkan di sana: bahwa ia (pemangku kedudukan berkuasa, red.) sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka Hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan.

     

    Menurut pasal 529 KUH Per: kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu. Pemilik atau pemegang hak milik disebut secara tegas sebagai pemegang kedudukan yang beritikad baik, sebagaimana bunyi pasal 531 KUH Per: kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung di dalamnya.

     

    Semoga bermanfaat. Terima kasih. (Imam Nasima)

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Mempekerjakan TKA untuk Sementara

    21 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!