Intisari:
Sebuah pasal yang dimohonkan dianggap konstitusional bersyarat apabila pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh MK. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka menjadi inkonstitusional.
Sebaliknya, dikatakan inkonstitusional bersyarat dalam hal pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional, akan tetapi pasal tersebut akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Putusan Mahkamah Konstitusi
klinik Terkait:
Pengaturan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) yang telah diubah beberapa, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) yang mana Perpu 1/2013 ini ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
Putusan MK adalah keputusan yang diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin ketua sidang.[1]
Achmad Roestandi dalam buku Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (hal. 213) menjelaskan ada 3 jenis amar dalam putusan MK:
1. Tidak dapat diterima (Niet onvankelijk verklaard)[2]
Jika permohonan tidak mempunyai legal standing atau MK tidak mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan.
berita Terkait:
2. Dikabulkan[3]
Jika permohonan pemohon beralasan.
Dalam hal permohonan dikabulkan, MK menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
Selain itu, dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, amar putusan juga menyatakan permohonan dikabulkan.
3. Ditolak[4]
Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.
Perkembangan Putusan MK
Harjono dalam buku Konstitusi sebagai Rumah Bangsa (hal. 178-179), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa ketiga macam putusan MK (sebagaimana telah disebutkan di atas) akan sulit untuk menguji sebuah undang-undang. Karena sebuah undang-undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum. Padahal, di dalam rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah nanti pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Sedangkan MK dituntut untuk memutuskan apakah sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Oleh karena itu, dalam perkembangannya sebagaimana dijelaskan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam buku Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012) (hal. 8-9), terdapat pula amar putusan lainnya dalam praktik di MK, yaitu:
1. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)
Putusan konstitusional bersyarat memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Putusan konstitusional bersyarat bertujuan untuk mempertahankan konstitusionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK;
b. Syarat-syarat yang ditentukan oleh MK dalam putusan konstitusional bersyarat mengikat dalam proses pembentukan undang-undang;
c. Membuka peluang adanya pengujian kembali norma yang telah diuji, dalam hal pembentukan undang-undang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan MK dalam putusannya;
d. Putusan konstitusional bersyarat menjadi acuan atau pedoman bagi MK dalam menilai konstitusionalitas norma yang sama;
e. Dilihat dari perkembangannya pencantuman konstitusional bersyarat, pada mulanya nampaknya MK mengalami kesulitan dalam merumuskan amar putusan dikarenakan terjadi pada perkara yang pada dasarnya tidak beralasan, sehingga putusannya sebagian besar ditolak, namun dalam perkembangannya putusan model konstitusional bersyarat terjadi karena permohonan beralasan sehingga dinyatakan dikabulkan dengan tetap mempertahankan konstitusionalitasnya;
f. Putusan konstitusional bersyarat membuka peluang adanya pengujian norma yang secara tekstual tidak tercantum dalam suatu undang-undang;
g. Putusan konstitusional bersyarat untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum;
h. Kedudukan MK yang pada dasarnya sebagai penafsir undang-undang, dengan adanya putusan model konstitusional bersyarat sekaligus sebagai pembentuk undang-undang secara terbatas.
Lebih lanjut mengenai konstitusional bersyarat Harjono (hal. 179) juga menjelaskan bahwa jika sebuah ketentuan yang rumusannya bersifat umum di kemudian hari dilaksanakan dalam bentuk A, maka pelaksanaan A itu tidak bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945). Akan tetapi, jika bentuk pelaksanaannya ternyata B, maka B akan bertentangan dengan Konstitusi. Dan demikian pasal tersebut bisa diuji kembali. Intinya adalah kalau undang-undang nanti diterapkan seperti A, ia bersifat konstitusional, namun jika ditetapkan dalam bentuk B, ia akan bertentangan dengan konstitusi.
2. Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitusional)
Lebih lanjut Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (hal. 9) menjelaskan putusan model inkonstitusional bersyarat merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Dengan demikian pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK.
Contoh Putusan
Sebagaimana disebutkan dalam Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), putusan konstitusional bersyarat pertama kali dimuat pada bagian amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 tentang pengujian Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 10/2008”). MK dalam amar putusannya menyatakan Pasal a quo tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakilinya.
Sedangkan putusan inkonstitusional bersyarat pertama kali dipraktikkan oleh MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK berpendapat bahwa pemberlakuan pasal-pasal tersebut melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), melanggar hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan UUD1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) tidak berlaku untuk jabatan yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) hari sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan nara pidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Sebagai referensi, Anda dapat melihat artikel Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma?.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008;
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009.
Referensi:
1. Harjono. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.
2. Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2013.