Mengacu pada ketentuan Pasal 55 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang mengatur mengenai pidana penyertaan, seseorang dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana, yaitu bagi:
“mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”
Dalam hal seorang Notaris membuat atau bekerja sama dan menandatangani suatu akta palsu atau akta proforma (akta pura-pura), maka terhadap Notaris tersebut dapat dikenakan pidana penyertaan pemalsuan akta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 jo Pasal 264 ayat (1) KUHP.
klinik Terkait :
Unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk Notaris tersebut dapat dijerat dengan pidana pemalsuan akta sebagaimana diatur dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP adalah (dikutip dari buku “Kejahatan Mengenai Pemalsuan” oleh Drs. Adami Chazawi, S.H., hal 98, 107-109):
A. Unsur-unsur objektif:
(1) Perbuatan:
· membuat palsu;
· memalsu;
(2) Objeknya surat yang:
· Dapat menimbulkan suatu hak;
· Menimbulkan suatu perikatan;
Rekomendasi Berita :
· Menimbulkan suatu pembebasan utang;
· Diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal;
(3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.
B. Unsur subjektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
Dan memiliki unsur pemberat yaitu berupa akta otentik.
Akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat (lihat Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pejabat umum pembuat akta otentik ini misalnya, Notaris, Pegawai Catatan Sipil, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Namun, apabila Notaris tersebut tidak mengetahui bahwa keterangan yang diberikan oleh kliennya adalah keterangan palsu, maka yang berlaku adalah Pasal 266 ayat (1) KUHP:
(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Dalam rumusan tersebut, diungkapkan oleh Adami Chazawi (hal. 112-113) bahwa tidak dicantumkan orang yang disuruh untuk memasukkan keteraangan palsu tersebut, tetapi dapat diketahui dari unsur “ke dalam akta otentik” bahwa orang tersebut adalah pembuat akta otentik.
Sehingga, berdasarkan pasal tersebut, Adami Chazawi menjelaskan, oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal tidak benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu (karena hanya disuruh), maka Pejabat Pembuat Akta Otentik (dalam hal ini Notaris) tidak dapat dipidana.
Mengenai proses pemanggilan Notaris untuk kepentingan perkara pidana, silahkan simak artikel berikut: Apakah Advokat dan Notaris Bisa Dituntut Pidana?
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)