Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional

Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional

PERTANYAAN

Kami bekerja di perusahaan tambang kelas dunia (raksasa) di mana di antara semua lokasi proyek di seluruh dunia, dari tempat kamilah (di Indonesia) laba perusahaan tempat kami bekerja yang paling besar. Namun, sayangnya kami tidak menerima upah seperti layaknya perusahaan yang sama di lokasi proyek lainnya (di Afrika, Amerika, dll). Dari beberapa informasi yang kami dapatkan mengenai standar gaji di lokasi proyek lainnya itu, ternyata jauh berpuluh kali lipat dibandingkan dengan di lokasi proyek kami saat ini. Nah, dapatkah kami meminta "penyesuaian" skala upah /gaji kepada perusahaan kami seperti di lokasi proyek lainnya itu? Bagaimana dasar hukumnya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Umar Kasim dan pernah dipublikasikan pada Selasa, 25 Januari 2011.

     

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Aturan Kenaikan Gaji Karyawan Menurut UU Cipta Kerja

    Aturan Kenaikan Gaji Karyawan Menurut UU Cipta Kerja

     

     

    Pada dasarnya, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja yang dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak (antara pengusaha dengan pekerja) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu substansi perjanjian kerja yang dimaksud adalah besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya. Jadi, dapat dan sah-sah saja apabila Anda meminta "penyesuaian" upah/gaji seperti di lokasi proyek lainnya.

     

    Mengenai struktur dan skala upah, undang-undang memberikan pedoman struktur dan skala upah sebagai salah satu kebijakan pengupahan dan mengamanatkan kepada pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dimaksud. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Guna menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman antara lain pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah (“Permenaker 1/2017”).

     

    Perjanjian Kerja

    Hubungan kerja (employment relation) terjadi karena adanya perjanjian kerja (employment agreement). Perjanjian kerja tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak (antara pengusaha dengan pekerja), dengan ketentuan substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[1]

     

    Salah satu substansi perjanjian kerja dimaksud adalah besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya.[2] Hal tersebut ada yang dijabarkan rinci dan dituangkan lebih lanjut dalam peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”). Sementara, itu, struktur dan skala dibuat dengan surat keputusan Direksi (SK Direksi).[3]

     

    Struktur dan Skala Upah

    Selain ditetapkan dalam bentuk surat keputusan oleh pimpinan perusahaan, struktur dan skala upah ini wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh oleh Pengusaha. Pemberitahuan ini dilakukan secara perorangan. Struktur dan Skala Upah yang diberitahukan sekurang-kurangnya berupa Struktur dan Skala Upah pada Golongan Jabatan sesuai dengan jabatan Pekerja/Buruh yang bersangkutan.[4]

     

    Dengan demikian, karena upah atau gaji merupakan salah satu unsur dari perjanjian kerja yang harus disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka hemat kami dapat dan sah-sah saja apabila Anda meminta "penyesuaian" skala upah/gaji seperti di lokasi proyek lainnya.

     

    Langkah yang Dapat Dilakukan

    Namun saran kami, sebelum Anda mengusulkan “kenaikan gaji” (istilah Anda meminta "penyesuaian" skala upah/gaji), hendaknya Anda betul-betul mendapatkan atau memiliki informasi (data) mengenai standar gaji di proyek lainnya sebagai bahan argumentasi penyesuaian dimaksud, sehingga lebih reasonable dalam mengusulkan kesepakatan penyesuaian.

     

    Informasi yang perlu Anda miliki, misalnya, pola waktu kerja dan waktu istirahatnya (“WKWI”) atau ketentuan waktu kerja di negara yang bersangkutan, bagaimana ketentuan mengenai kerja lembur, apakah ada ketentuan penyimpangan WKWI, adakah bonus atau insentif tahunan, atau employee stock option program, dan lain sebagainya yang sedikit banyak berpengaruh terhadap pendapatan (income, salary atau take home pay).

     

    Asumsi kami, perusahaan tempat Anda bekerja adalah perusahaan multinational company (“MNC”) atau transnational company (“TNC”). Perusahaan semacam itu, walau tergabung dalam satu owners atau group (holding company) akan tetapi eksistensinya pada setiap negara umumnya merupakan entity yang berdiri sendiri atau merupakan subsidiary dari holding company dimaksud. Dengan demikian, biarpun satu group dalam TNC atau MNC, akan tetapi karena entity-nya ada pada negara yang berbeda kebijakannya, maka bisa jadi terdapat perbedaan syarat-syarat kerja atau terms and conditions, sehingga juga terdapat perbedaan hak/kewajiban terhadap pekerja.

     

    Kebijakan Pengupahan

    Secara umum UU Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak mengatur persentase dan perbandingan gaji atau upah antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, baik lokal maupun TNC atau MNC yang nota bene adalah merupakan domain para pihak untuk menyepakatinya.[5]

     

    UU Ketenagakerjaan hanya mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang antara lain meliputi kebijakan upah minimum dan beberapa kebijakan upah lainnya, seperti upah kerja lembur, penyimpangan no work no pay, upah masa cuti, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, fasilitas yang diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala upah, dan kebijakan upah untuk pembayaran pesangon serta kebijakan upah untuk pajak penghasilan.[6]

     

    Salah satu kebijakan pengupahan (kebijakan upah minimum) yang ditegaskan dalam UU Ketenagakerjaan adalah pengusaha dilarang membayar (memperjanjikan) upah lebih rendah dari upah minimum. Apabila pengusaha memperjanjikan pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum (nietig van rechtswege, null and void).[7]

     

    Selanjutnya ditegaskan juga bahwa dalam menetapkan (memperjanjikan) upah, dilarang atau tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.[8]

     

    Dengan demikian, agar ada kepastian hukum dan guna mengurangi jarak serta jenjang upah yang terlalu jauh antara upah tertinggi dan terendah, maka undang-undang memberikan pedoman struktur dan skala upah sebagai salah satu kebijakan pengupahan dan mengamanatkan kepada pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dimaksud.[9] Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

     

    Penjelasan lebih lanjut mengenai penyusunan struktur dan skala upah dapat Anda simak Struktur dan Skala Upah dan Kewajiban Pengusaha Menyusun dan Memberitahukan Struktur dan Skala Upah.

     

    Sebagai referensi mengenai kenaikan upah, Anda dapat juga membaca artikel Aturan Kenaikan Upah Secara Berkala.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    2.    Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Nomor 100 Organisasi Perburuhan Internasional mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya;

    3.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    4.    Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah;

    5.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu;

    6.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum pada Daerah Operasi Tertentu.

     

     

     

    Artikel Sebelum Pemuktahiran yang Dibuat oleh Umar Kasim

     

    Kami bekerja di perusahaan tambang kelas dunia (raksasa) di mana di antara semua lokasi proyek di seluruh dunia, dari tempat kamilah (di Indonesia) laba perusahaan tempat kami bekerja yang paling besar. Namun, sayangnya Kami tidak menerima upah seperti layaknya perusahaan yang sama di lokasi proyek lainnya (di Afrika, Amerika, dll). Dari beberapa informasi yang kami dapatkan mengenai standar gaji di lokasi proyek lainnya itu, ternyata jauh berpuluh kali lipat dibandingkan dengan di lokasi proyek kami saat ini. Nah, dapatkah kami meminta "penyesuaian" skala upah /gaji kepada perusahaan kami seperti di lokasi proyek lainnya itu? Bagaimana dasar hukumnya?

     

    Jawaban :

    1.    Hubungan kerja (employment relation) terjadi karena adanya perjanjian kerja (employment agreement). Perjanjian kerja tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak (antara pengusaha dengan pekerja), dengan ketentuan –substansinya– tidak boleh bertengangan dengan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 54 ayat [1] jo Pasal 52 ayat [1] dan [3] UU No. 13/2003 jo Pasal 1320 dan Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek).

     

    Salah satu substansi (isi) perjanjian kerja dimaksud adalah besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya (lihat Pasal 54 ayat [1] huruf e UU No. 13/2003). Walaupun hal tersebut ada yang dijabarkan rinci dan dituangkan lebih lanjut dalam peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”), atau dibuat dalam bentuk struktur dan skala upah menjadi lampiran yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari PP/PKB. Selain itu, ada juga (struktur dan skala upah) yang dibuat terpisah dengan surat keputusan Direksi (SK Direksi). Tapi, prinsipnya semuanya atas dasar kesepakatan tanpa ada paksaan, kehilafan atau penipuan (overeenkomst zonder dwang, dwaling en bedrog).

     

    Dengan demikian, karena upah atau gaji merupakan salah satu item dari perjanjian kerja yang harus disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 91 ayat [1] UU No. 13/2003 jo Pasal 18 [lama] Permenaker No. Per-01/Men/1999), maka -hemat kami- dapat dan sah-sah saja apabila Saudara/(i) meminta "penyesuaian" Skala Upah/Gaji –menyesuaikan- seperti di lokasi proyek lainnya.

     

    Namun saran kami, sebelum Saudara/(i) mengusulkan “kenaikan gaji” (istilah Sdr. meminta "penyesuaian" Skala Upah/Gaji), hendaknya Saudara/(i) betul-betul mendapatkan atau memiliki informasi (data) mengenai standar gaji di proyek lainnya sebagai bahan argumentasi penyesuaian dimaksud, sehingga lebih reasonable dalam mengusulkan (meminta) kesepakatan penyesuaian.

     

    Informasi yang perlu Saudara/(i) miliki, misalnya, pola waktu kerja dan waktu istirahatnya (WKWI) atau ketentuan waktu kerja di negara yang bersangkutan, bagaimana ketentuan mengenai kerja lembur, apakah ada ketentuan penyimpangan WKWI, adakah bonus atau insentif tahunan, atau employee stock option program, dan lain sebagainya yang sedikit banyak berpengaruh terhadap pendapatan (income, salary atau take home pay).

     

    Asumsi kami, perusahaan tempat Saudara/(i) bekerja adalah perusahaan multy national company (“MNC”) atau trans national company (“TNC”). Perusahaan semacam itu, walau tergabung dalam satu owners atau group (holding company) akan tetapi eksistensinya pada setiap negara –umumnya– merupakan entity yang berdiri sendiri atau merupakan subsidiary dari holding company dimaksud. Dengan demikian, biarpun satu group dalam TNC atau MNC, akan tetapi karena entity-nya ada pada negara yang berbeda kebijakannya, maka bisa jadi terdapat perbedaan syarat-syarat kerja atau terms and conditions, sehingga juga terdapat perbedaan hak/kewajiban terhadap pekerja.

     

    2.    Beberapa dasar hukum mengenai pengupahan, dapat Saudara/(i) lihat dalam daftar referensi (tersebut di bawah). Namun, secara umum UU Ketenagakerjaan (yakni UU No. 13/2003 dan peraturan-peraturan pelaksanaanya) tidak mengatur persentase dan perbandingan gaji atau upah antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, baik lokal maupun TNC atau MNC yang nota bene adalah merupakan domain para pihak untuk menyepakatinya.

     

    Undang-undang hanya mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang –antara lain– meliputi kebijakan upah minimum dan beberapa kebijakan upah lainnya, seperti upah kerja lembur, penyimpangan no work no pay, upah –masa– cuti, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, fasilitas yang diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala upah, dan kebijakan upah untuk pembayaran pesangon serta kebijakan upah untuk pajak –income tax– (lihat Pasal 88 ayat [2] dan ayat [3] UU No. 13/2003 jo Pasal 4 PP No. 68/2009).

     

    Salah satu kebijakan pengupahan (kebijakan upah minimum) yang ditegaskan dalam undang-undang adalah bahwa pengusaha dilarang membayar (memperjanjikan) upah lebih rendah dari upah minimum. Apabila pengusaha memperjanjikan pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum (nietig van rechtswege, null and void) (lihat Pasal 91 ayat [2] UU No. 13/2003). Selanjutnya ditegaskan juga bahwa dalam menetapkan (memperjanjikan) upah, dilarang atau tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lihat Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981 jo Pasal 6 UU No. 13/2003 dan UU No. 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100)

     

    Dengan demikian, penyesuaian skala upah atau gaji dan kesepakatan upah/gaji di atas upah minimum merupakan domain para pihak untuk menyepakatinya atau mengaturnya. Walaupun demikian, agar ada kepastian hukum, dan guna mengurangi gap serta jenjang upah yang terlalu jauh antara upah tertinggi dan terendah, maka undang-undang memberikan pedoman struktur dan skala upah sebagai salah satu kebijakan pengupahan dan mengamanatkan kepada pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dimaksud (lihat Pasal 92 ayat [1] UU No. 13/2003 jo Pasal 10 ayat [1] Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004).

     

    Demikian penjelasan kami, semoga dapat menambah wawasan Saudara/(i).

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)

    2.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    3.    Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Nomor 100 Organisasi Perburuhan Internasional mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya;

    4.    Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah;

    5.    Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.

    6.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah;

    7.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.Kep-226/Men/2000;

    8.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur;

    9.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak;

    10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu;

    11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum pada Daerah Operasi Tertentu.

     



    [1] Pasal 54 ayat (1) jo. Pasal 52 ayat (1) dan (3) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH Perdata

    [2] Pasal 54 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan

    [3] Pasal 5 Permenaker 1/2017

    [4]  Pasal 8 Permenaker 1/2017

    [5] Pasal 91 UU Ketenagakerjaan

    [6] Pasal 88 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan

    [7] Pasal 91 UU Ketenagakerjaan

    [8] Pasal 6 UU Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Nomor 100 Organisasi Perburuhan Internasional mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya

    [9] Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 2 ayat (1) Permenaker 1/2017

    Tags

    hukumonline
    struktur upah

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!