Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Peran Hukum Internasional dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Peran Hukum Internasional dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim

Peran Hukum Internasional dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Peran Hukum Internasional dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim

PERTANYAAN

Apakah terdapat ketentuan dalam hukum internasional mengenai perubahan iklim?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perubahan iklim merupakan salah satu masalah utama dan memberikan dampak besar yang dirasakan oleh seluruh dunia. Dengan demikian, bagaimana hukum internasional menanggapi isu ini? Adakah ketentuan hukum internasional terkait penanggulangan perubahan iklim?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    5 Sumber Hukum Internasional

    5 Sumber Hukum Internasional

    Perubahan iklim telah menjadi perbincangan dalam kehidupan masyarakat internasional sejak tahun 1979. Negara-negara berkumpul pada Konferensi Iklim di Jenewa untuk membahas upaya penanggulangan pemanasan global. Konferensi tersebut diikuti dengan pembentukan Badan Internasional Penilaian Perubahan Iklim, atau yang dikenal sebagai Intergovernmental Panel on Climate Change (“IPCC”).[1]

    Salah satu isu lingkungan hidup yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan makhluk di bumi adalah fenomena perubahan iklim atau climate change.[2] Perubahan iklim bersifat global dan berjangka panjang. Perubahan iklim akan berdampak besar pada sistem sosial, ekonomi, lingkungan, juga terhadap aspek keamanan kehidupan manusia yang meliputi air, makanan, dan kesehatan. Dari dampak tersebut dapat dinilai bahwa iklim adalah milik bersama, bersifat global, dan mempengaruhi kepentingan manusia secara keseluruhan.[3]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim yang merupakan masalah lingkungan hidup memberikan pengaruh besar pada konsep dalam hukum internasional.[4] Berikut adalah penjelasan peran hukum internasional dalam menghadapi perubahan iklim.

    Baca juga: Climate Change: Begini Peran Hukum Nasional Indonesia

     

    Konvensi Perubahan Iklim

    Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau yang dikenal dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (“UNFCCC”).

    Konvensi perubahan iklim bertujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim.[5] Konvensi ini menjadi bentuk keseriusan masyarakat internasional untuk menentukan tujuan bersama dan rencana strategis penanggulangan perubahan iklim. State parties atau negara pihak konvensi sepakat untuk menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (“GRK”) anthrophogenic sebagai sumber utama dari perubahan iklim dan untuk menghindari gangguan dari sistem iklim dengan mengendalikan penyebab utama berupa metan, asam nitrat, khususnya emisi karbon dioksida.[6] Aturan terkait komitmen negara peserta konvensi untuk mengurangi dan mengindari GRK anthrophogenic dapat Anda baca selengkapnya dalam Pasal 4 UNFCCC.

    UNFCCC berkekuatan hukum sejak tanggal 21 Maret 1994. Berdasarkan konvensi tersebut, negara yang meratifikasi  konvensi dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:[7]

    1. Negara Annex I;
    2. Negara Non-Annex I.

    Negara Annex I adalah negara-negara yang menyumbang emisi GRK dalam jumlah yang banyak. Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I atau kontribusinya terhadap emisi GRK jauh lebih sedikit dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNFCCC melalui UU 6/1994 dan termasuk dalam negara Non-Annex I. Dengan demikian Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban yang tertuang di UNFCCC dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.[8]

    Di Indonesia, efek rumah kaca mungkin tidak terlalu umum. Rumah kaca biasanya dipakai di negara-negara 4 (empat) musim yang tidak sepanjang tahun memiliki cahaya matahari dan tidak sepanjang tahun memiliki cuaca yang cocok dengan pertanian. Maka, penduduk negara-negara tersebut membangun rumah-rumah kaca untuk menangkap panas matahari. Rumah itu kemudian menyimpan panas sehingga penduduk dapat bercocok tanam didalamnya. Efek menangkap panas ini lah yang kemudian disebut dengan efek rumah kaca. Bumi memiliki beberapa macam unsur kimia seperti CO2, metana dan lainnya yang berfungsi sebagai selimut bumi. Jika tidak ada gas tersebut, maka temperatur bumi akan sangat dingin dan tidak layak untuk didiami manusia. Gas-gas inilah yang memerangkap sinar matahari yang turun ke bumi atau kerap disebut GRK. Namun, jika terjadi revolusi industri yang secara besar-besaran menghasilkan GRK yang terus meningkat di atmosfer bumi, GRK menjadi sangat besar dan panas yang terperangkap di bumi semakin banyak.[9]

    Untuk menjalankan tujuan konvensi, UNFCCC membentuk Conference of the Parties (“COP”) yang diatur dalam Pasal 7 UNFCCC. Fungsi dari COP adalah mengkaji pelaksanaan konvensi, memantau pelaksanaan kewajiban state parties sesuai tujuan konvensi, mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi, membuat rekomendasi kepada state parties, dan mendirikan badan-badan pendukung jika dipandang perlu.[10]

     

    Protokol Kyoto 1997

    Protokol Kyoto 1997 atau Kyoto Protocol, merupakan hukum internasional yang memiliki kaitan dengan UNFCCC. Protokol ini merupakan dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi GRK.[11] Dalam rangka mengimplementasikan tujuan UNFCCC, COP pada pertemuan di tahun 1997, di Kyoto, Jepang, menghasilkan konsensus berupa keputusan untuk mengadopsi Protokol Kyoto 1997. Protokol Kyoto 1997 mulai berlaku sejak tahun 2005. Periode komitmen pertama dari pelaksanaan Protokol Kyoto 1997 telah dimulai tahun 2008 dan berakhir tahun 2012.[12] Sementara periode komitmen kedua dari pelaksanaan Protokol Kyoto 1997 dimulai tahun 2013 hingga tahun 2020.[13]

    Protokol Kyoto mengatur beberapa hal seperti mekanisme penurunan emisi GRK yang dilaksanakan negara-negara maju, yakni:[14]

    1. Implementasi Bersama (Joint Implementation);
    2. Perdagangan Emisi (Emission Trading);
    3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM).

    Indonesia sendiri telah melakukan ratifikasi Protokol Kyoto 1997 melalui UU 17/2004.

     

    Perjanjian Cancun

    Konferensi COP yang dilaksanakan di Cancun, Meksiko, 2010 menghasilkan Cancun Agreement atau Perjanjian Cancun yang berisi aturan untuk mengatasi perubahan iklim melalui pendekatan internasional dan domestik. Perjanjian ini bertujuan untuk membantu negara berkembang dalam melindungi diri dari dampak perubahan iklim sekaligus mengejar pembangunan berkelanjutan.[15]

    Dalam Cancun Agreement terdapat aturan formal tentang perlunya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, yang dimuat pada Pasal 72 Cancun Agreement, yaitu:

    Also requests developing country Parties, when developing and implementing their national strategies or action plans, to address, inter alia, drivers of deforestation and forest degradation, land tenure issues, forest governance issues, gender considerations and the safeguards identified in paragraph 2 of annex I to this decision, ensuring the full and effective participation of relevant stakeholders, inter alia, indigenous peoples and local communities;

    Berdasarkan pasal tersebut, terdapat referensi penting dalam hal perlindungan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal dalam pelaksanaan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (“REDD+”), yaitu ketika negara berkembang mengembangkan dan menerapkan strategi nasional atau rencana aksi untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, harus memastikan keterlibatan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal secara penuh dan efektif.[16]

     

    Amandemen Doha

    Pada tahun 2012, setelah periode komitmen pertama Protokol Kyoto 1997 (2008-2012) berakhir, negara anggota bertemu di Doha, Qatar untuk mengadopsi amandemen dari Protokol Kyoto 1997. Amandemen Doha menghasilkan aturan baru mengenai pengurangan emisi untuk periode komitmen kedua bagi state parties. Namun, Amandemen Doha tidak bertahan lama karena pada tahun 2015 diadakan “summit” atau Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Sustainable Development di Paris. Seluruh state parties UNFCCC menandatangani pakta Paris Climate Agreement, yang pada akhirnya secara efektif menggantikan Protokol Kyoto 1997.[17]

     

    Perjanjian Paris

    Paris Agreement atau Perjanjian Paris merupakan pengganti Kyoto Protocol 1997.[18] Pada tahun 2015, negara pihak UNFCCC mengadopsi perjanjian tersebut dalam rangka upaya terkoordinasi secara internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Berbeda dengan Protokol Kyoto 1997, Paris Agreement tidak menetapkan pengurangan emisi, melainkan merumuskan tujuan perubahan iklim secara keseluruhan dan mengatur kebebasan negara pihak untuk bagaimana dan seberapa banyak negara dapat berkontribusi guna mencapai tujuan tersebut. Hal ini tentu dengan memperhatikan perbedaan situasi nasional setiap negara (principle of common but differentiated responsibility and respective capabilities, in the light of different national circumstances), yang diatur dalam Pasal 2.2 Paris Agreement.[19]

    Tanggal 22 April 2016, Indonesia telah menandatangani Perjanjian Paris di New York. Sebagai negara peratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk melakukan upaya menurunkan emisi GRK dan bergerak aktif mencegah terjadinya perubahan iklim. Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan UU 16/2016. Pemerintah Indonesia dengan 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan melalui Nawa Cita, adalah komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Dalam agenda Pembangunan Nasional, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah prioritas.[20] Hingga hari ini terdapat 193 (192 negara dan European Union) pihak yang telah menjadi pihak dari perjanjian.[21]

    Kesimpulannya, perubahan iklim menjadi salah satu masalah utama dalam hukum internasional dan memberikan dampak yang besar yang dirasakan oleh seluruh dunia. Perubahan iklim sudah menjadi perbincangan dunia bahkan sejak taun 1979. Namun, masyarakat internasional tidak hanya melakukan perbincangan saja, melainkan melakukan konferensi dan berhasil mencapai keputusan serta kesepakatan untuk bekerja sama secara internasional dalam rangka menghadapi perubahan iklim.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC;
    2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto 1997;
    3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris;
    4. Amandemen Doha;
    5. Cancun Agreement;
    6. Perjanjian Paris;
    7. Protokol Kyoto 1997;
    8. United Nations Framework Convention on Climate Change.

     

    Referensi:

    1. Andreas Pramudianto, Dari Kyoto Protocol 1997 Hingga Paris Agreement 2015: Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global dan ASEAN Menuju 2020, Jurnal Global, Vol. 18, No. 1, 2016;
    2. Ardina Purbo (et.al), Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, dan Nationality Determined Contribution, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016;
    3. Asian Development Bank, Climate Change, Coming Soon to a Court Near You, Philippines: Asian Development Bank, 2020;
    4. Bernadinus Steni (et.al), Hukum, Perubahan Iklim dan REDD, Jakarta: HuMa, 2010;
    5. Charlotte Streck, The Paris Agreement: A New Beginning, Journal for European Environmental & Planning Law, Vol. 13, 2016;
    6. Christoph Böhringer, The Kyoto Protocol: A Review and Perspectives, Oxford Review of Economic Policy, Vol. 19, No. 3, 2003;
    7. Deni Bram, Perspektif Keadilan Iklim dalam Instrumen Hukum Lingkungan Internasional Tentang Perubahan Iklim, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 2, 2011;
    8. Leony Marcha Rotua Cahaya Pardede, Peran Hukum Internasional dalam Menekan Pengaruh Emisi Sektor Penerbangan Terhadap Laju Perubahan Iklim, Jurnal Belli Ac Pacis, Vol. 7, No. 2, 2021;
    9. Philip Aerni (et.al), Climate Change and International Law: Exploring the Linkages Between Human Rights, Environment, Trade, and Investment, Berlin: Duncker & Humblot, 2011;
    10. Muazzin, Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan REDD+,  Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 66 No. 17, 2015;
    11. Yoomi Kim (et.al), Environmental and Economic Effectiveness of the Kyoto Protocol, PLOS ONE Journal, Vol. 21, 2020;
    12. DITJEN PPI, Kesepakatan Dunia dalam Menghadapi Perubahan Iklim, yang diakses pada 27 Juni 2022, pukul 20.08 WITA;
    13. DITJEN PPI, Komitmen Indonesia dalam Pengendalian Perubahan Iklim, yang diakses pada 27 Juni 2022, pukul 23.21 WITA;
    14. United Nations, The Paris Agreement, yang diakses pada 27 Juni 2022, pukul 23.15 WITA.

    [1] DITJEN PPI, Kesepakatan Dunia dalam Menghadapi Perubahan Iklim, yang diakses pada 27 Juni 2022, pukul 20.08 WITA

    [2] Deni Bram, Perspektif Keadilan Iklim dalam Instrumen Hukum Lingkungan Internasional Tentang Perubahan Iklim, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 2, 2011, hal. 285

    [3] Philip Aerni (et.al), Climate Change and International Law: Exploring the Linkages Between Human Rights, Environment, Trade, and Investment, Berlin: Duncker & Humblot, 2011, hal. 140

    [4] Bernadinus Steni (et.al), Hukum, Perubahan Iklim dan REDD, Jakarta: HuMa, 2010, hal. 44

    [5] Ardina Purbo (et.al), Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, dan Nationality Determined Contribution, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016, hal. 9

    [6] Deni Bram, Perspektif Keadilan Iklim dalam Instrumen Hukum Lingkungan Internasional Tentang Perubahan Iklim,Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 2, 2011, hal. 287

    [7] Ardina Purbo (et.al), Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, dan Nationality Determined Contribution, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016, hal. 9

    [8] Ardina Purbo (et.al), Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, dan Nationality Determined Contribution, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016, hal. 9

    [9] Bernadinus Steni (et.al), Hukum, Perubahan Iklim dan REDD, Jakarta: HuMa, 2010, hal. 6-7

    [10] Ardina Purbo (et.al), Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, dan Nationality Determined Contribution, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016, hal. 9

    [11] Yoomi Kim (et.al), Environmental and Economic Effectiveness of the Kyoto Protocol, PLOS ONE Journal, Vol. 21, 2020, hal. 2

    [12] Christoph Böhringer, The Kyoto Protocol: A Review and Perspectives, Oxford Review of Economic Policy, Vol. 19, No. 3, 2003, hal. 451

    [13] Andreas Pramudianto, Dari Kyoto Protocol 1997 Hingga Paris Agreement 2015: Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global dan ASEAN Menuju 2020, Jurnal Global, Vol. 18, No. 1, 2016, hal. 78

    [14] Ardina Purbo (et.al), Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, dan Nationality Determined Contribution, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016, hal. 11

    [15] Asian Development Bank, Climate Change, Coming Soon to a Court Near You, Philippines: Asian Development Bank, 2020, hal. 23

    [16] Muazzin, Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan REDD+, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 66 No. 17, 2015, hal. 278

    [17] Leony Marcha Rotua Cahaya Pardede, Peran Hukum Internasional dalam Menekan Pengaruh Emisi Sektor Penerbangan Terhadap Laju Perubahan Iklim, Jurnal Belli Ac Pacis, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 87

    [18] Andreas Pramudianto, Dari Kyoto Protocol 1997 Hingga Paris Agreement 2015: Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global dan ASEAN Menuju 2020, Jurnal Global, Vol. 18, No. 1, 2016, hal. 78

    [19] Charlotte Streck, The Paris Agreement: A New Beginning, Journal for European Environmental & Planning Law, Vol. 13, 2016, hal. 4-5

    [20] DITJEN PPI, Komitmen Indonesia dalam Pengendalian Perubahan Iklim, yang diakses pada 27 Juni 2022, pukul 23.21 WITA

    [21] United Nations, The Paris Agreement, yang diakses pada 27 Juni 2022, pukul 23.15 WITA

    Tags

    hukum internasional
    hukum lingkungan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    24 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!