Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran ketiga dari artikel dengan judul "Modal PT" yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 16 November 2010, yang kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada 16 Juni 2017, dan kedua kali pada Selasa, 10 November 2020.
Istilah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor dikenal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan pengertian dari masing-masing jenis modal tersebut.
Modal Dasar
M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa modal dasar adalah seluruh nilai nominal saham perseroan yang disebut dalam anggaran dasar. Modal dasar perseroan pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan terbatas (“PT”). Anggaran dasar sendiri yang menentukan berapa jumlah saham yang dijadikan modal dasar. Jumlah yang ditentukan dalam anggaran dasar merupakan “nilai nominal yang murni” (hal. 233).
Mengenai modal dasar PT, Pasal 109 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 32 UU PT mengatur sebagai berikut:
- Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan.
- Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sejalan dengan ketentuan di atas, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil (“PP 8/2021”) mengatur bahwa besaran modal dasar PT ditentukan berdasarkan keputusan pendiri PT.[1] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saat ini tidak ditetapkan lagi batas minimum modal dasar PT.
Akan tetapi, untuk PT yang melaksanakan kegiatan usaha tertentu, besaran minimum modal dasarnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[2] Misalnya, untuk perusahaan asuransi, karena modal disetor saat pendirian minimal berjumlah Rp150 miliar,[3] maka modal dasarnya juga tidak boleh kurang dari jumlah tersebut.
Modal Ditempatkan
Selain modal dasar, dikenal pula modal ditempatkan yang dicantumkan dalam format isian untuk memperoleh pengesahan badan hukum PT serta dicantumkan dalam anggaran dasar PT. [4]
M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang saham, dan saham yang diambil tersebut ada yang sudah dibayar dan ada yang belum dibayar (hal. 236).
Jadi, modal ditempatkan itu adalah modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki (hal. 236).
Patut dicatat, minimal 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.[5]
Modal Disetor
Masih dari buku yang sama, arti modal disetor menurut M. Yahya Harahap adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya (hal. 236).
Ketentuan mengenai modal disetor merujuk pada bunyi Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU PT yang juga mengatur modal ditempatkan.
Selain itu, pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh.[6]
Sehingga, paling sedikit 25% dari modal dasar harus (hal. 236):
1. telah ditempatkan, dan
2. telah disetor penuh pada saat pendirian PT.
Contoh
Sebagai ilustrasi, kami akan memberikan contoh sebagai berikut:
A dan B sebagai pendiri PT X telah menyepakati modal dasar PT X adalah Rp150 juta yang terbagi atas 1000 lembar saham, masing-masing saham bernilai nominal Rp150 ribu.
Dari jumlah Rp150 juta tersebut, kemudian A dan B ternyata menyanggupi untuk mengambil sebagian saja, misalnya total saham yang diambil A dan B adalah Rp100 juta, maka nilai Rp100 juta tersebut merupakan modal ditempatkan yang harus disetor penuh.
Sedangkan, sisa Rp50 juta yang belum diambil bagiannya itu disebut saham portefel yang artinya menurut M. Yahya Harahap yaitu saham yang “belum dikeluarkan” atau “belum ditempatkan”. Setiap saat saham portefel dapat dikeluarkan untuk menambah modal ditempatkan dan harus disetor penuh, tidak boleh mengangsur (hal. 238).
Kemudian melanjutkan ilustrasi di atas, karena modal ditempatkan (jumlah saham yang sudah diambil A dan B sebagai pendiri atau pemegang saham) adalah sebesar Rp100 juta, bila A dan B telah melakukan penyetoran, misalnya sebesar Rp37.5 juta, berarti ada sisa yang belum dilunasi sebesar Rp62.5 juta. Sesuai konsep modal disetor, seluruh saham yang diambil bagian oleh A dan B (modal ditempatkan) harus sudah dilunasi pembayarannya. Jadi, sisa Rp62.5 juta itu harus sudah dilunasi saat pendirian PT.
Ini juga terkait dengan ketentuan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur (hal. 237). Sehingga sebelum pendirian PT dilakukan, semua modal yang ditempatkan harus sudah disetor penuh.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.
Dasar Hukum:
Referensi:
Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. (Jakarta: Sinar Grafika) 2016.