Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) menjamin hak Debitor Pailit untuk dapat menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor (lihat Pasal 144 UU KPKPU).
Akan tetapi, rencana perdamaian itu harus diajukan oleh Debitor Pailit paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang dengan menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan Niaga. Dan rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang (lihat Pasal 145 ayat [1] UU KPKPU). Dengan kata lain, rencana perdamaian ini diajukan setelah adanya putusan pailit terhadap Debitor oleh Pengadilan Niaga. Simak juga artikel Actio Pauliana dan Perdamaian Dalam Kepailitan.
klinik Terkait :
Memang Debitor Pailit diberikan hak untuk melakukan upaya hukum yaitu kasasi ke Mahkamah Agung (lihat Pasal 11 ayat [1] UU KPKPU). Tapi, permohonan kasasi ini diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit (lihat Pasal 11 ayat [2] UU KPKPU).
Hal ini berarti rencana perdamaian tidak lagi dapat diajukan setelah ada putusan dari Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan oleh Debitor Pailit. Karena jangka waktu untuk pengajuan rencana perdamaian telah lewat.
Demikian pula ditegaskan oleh advokat Bobby Rahman Manalu dari Fredrik J. Pinakunary Law Offices. Menurutnya, perdamaian hanya boleh dilakukan setelah putusan pailit dijatuhkan. Dan juga ada tenggat waktunya untuk Debitor Pailit dapat mengajukan perdamaian.
Jadi, perdamaian tidak bisa dilakukan setelah ada putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Debitor Pailit.
Rekomendasi Berita :
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.