Akta perjanjian perikatan jual beli tanah antara si A (penjual) dan si B (pembeli) ditulis oleh notaris tahun 2001. Dapatkah PPJB dijadikan alat bukti gugatan? Dapatkah menjadi alat bukti setelah 10 tahun kemudian untuk menggugat pihak pihak di luar dan namanya tidak tercantum dalam PPJB, serta digabung dengan pihak A (pihak yang terkait dalam PPJB) dalam satu gugatan perkara perdata di PN?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan anda.
Dalam membuktikan suatu perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan (sebatas) pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, umumnya suatu bukti tertulis (surat) atau dokumen memang sengaja dibuat oleh para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti (apabila sampai ada sengketa).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
3.Persangkaan
4.Pengakuan
5.Sumpah
Sayangnya Anda tidak menguraikan informasi dalam pertanyaan Anda dengan jelas mengenai permasalahan yang sedang Anda hadapi. Namun demikian, saya perlu menyampaikan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta otentik (vide: Pasal 1868 KUH Perdata). Dalam kaitannya dengan akta otentik tersebut, Pasal 1870 KUH Perdata telah memberikan penegasan bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, yang akan saya kutip, sebagai berikut:
Pasal 1870 KUH Perdata (Terjemahan R. Subekti)
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”
Sebagai informasi untuk Anda, PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.
Mencermati pertanyaan kedua Anda, hal mana ada pihak yang menggunakan PPJB tersebut sebagai bukti dalam gugatannya setelah 10 (sepuluh) tahun PPJB tersebut dibuat, menurut hemat saya, hal tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak tersebut apabila memang ada hal yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian (baca: PPJB) atau dengan pihak-pihak lain yang mendapat hak dari PPJB tersebut.
Dengan demikian, apabila ada pihak-pihak lain di luar pihak-pihak dalam PPJB, yang digugat dalam perkara tersebut, pihak yang menggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara penggugat dengan pihak-pihak di luar PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 4 K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Untuk dapat menuntut seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak bahwa harus ada perselisihan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara.”
Selain itu, mengingat rentang waktu sejak dibuatnya PPJB tersebut sampai dengan perkara tersebut bergulir di pengadilan belumlah melebihi masa Daluwarsa yang ditentukan oleh hukum untuk menuntut, yaitu selama 30 (tiga puluh) tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1967 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:
“Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.”
Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.