Perjanjian hakikatnya adalah perbuatan satu atau lebih pihak untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pihak lain (Psl. 1313 KUPerdata). Karenanya istilah perjanjian sepihak bertentangan dengan hakikat perjanjian itu sendiri (lih. Psl 1315 KUHPerdata).
Namun, KUHPerdata memuat pengecualian. Satu pihak bisa saja mengikatkan diri untuk menanggung/menjamin (kepada pihak kedua) bahwa seorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu (lih. Psl. 1316 KUHPerdata). Pakar hukum melihat pengecualian ini bersifat limitatif dan hanya dapat digunakan untuk keperluan penanggungan/pejaminan saja. Karenanya ?perjanjian sepihak' tidak memiliki kekuatan hukum maupun dasar hukum.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan antar pihak (lih. Psl 1320 KUHPerdata). Tentunya tanpa adanya kesepakatan, perjanjian menjadi tidak sah. Namun, perjanjian tidak harus dituangkan secara tertulis; lisan punya dapat dan sah serta mengikat. Namun, pembuktian perjanjian lisan lebih sulit dibandingkan tertulis. Karenanya, walaupun perjanjian tertulis yang anda masuk tidak sah, namun sebetulnya ada kesepakatan lisan, maka tetap dapat dianggap telah terjadi perjanjian di antara para pihak.