Perkawinan Beda Agama, di Kantor Catatan Sipil atau di Luar Negeri?
Keluarga

Perkawinan Beda Agama, di Kantor Catatan Sipil atau di Luar Negeri?

Bacaan 5 Menit

Pertanyaan

Saya Andre. Saya mau tanya apakah pernikahan beda agama dapat dilakukan di catatan sipil tanpa harus keluar negeri? Kebetulan saya Kristen dan pasangan saya seorang muslimah, apakah bisa dilakukan di sini tanpa harus keluar negeri. Terima kasih sebelumnya.

Ulasan Lengkap

 

Sebenarnya tidak ada pengaturan hukum yang tegas terkait pernikahan beda agama di Indonesia. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan).

 

Akan tetapi, kita harus melihat ketentuan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Mengenai pasal ini, tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan ketentuan tersebut. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa pasangan calon suami istri harus melihat apakah berdasarkan ketentuan agama mereka, mereka dapat menikah atau tidak.

 

Jika dihubungkan dengan menikah beda agama, kita ketahui bahwa dalam beberapa ajaran agama, tidak boleh pemeluk agama itu menikah dengan orang yang berbeda agamanya. Sebagaimana pernah dicontohkan dalam artikel Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia, misalnya dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).

 

Jika Anda ingin mencari jalan lain dengan cara menikah di kantor catatan sipil tanpa menikah secara agama, melihat pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing, maka menikah di kantor catatan sipil saja tidak menjadikan perkawinan tersebut sah.

 

Selain itu perlu diketahui bahwa baik Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan Sipil hanya bertindak sebagai pencatat perkawinan sebagaimana dikatakan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

 

Akan tetapi seperti pernah dijelaskan dalam artikel Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia, ada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986. Putusan tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani P (perempuan/Islam), sebagai pemohon, dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).

 

Dalam pertimbangannya, MA mengatakan bahwa dengan diajukannya permohonan untuk melangsungkan perkawinan kepada Kepala Kantor Catatan Sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa pemohon berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam dan dengan demikian harus ditafsirkan pula bahwa dengan mengajukan permohonan itu pemohon sudah tidak menghiraukan lagi status agamanya (agama Islam). Sehingga Pasal 8 huruf f UU Perkawinan tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkannya perkawinan yang mereka kehendaki, dan dalam hal/keadaan yang demikian seharusnya Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami istri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan pemohon.

 

Jadi, pada dasarnya secara ketentuan perundang-undangan tidak bisa dilakukan pernikahan beda agama di Kantor Catatan Sipil. Akan tetapi dengan adanya yurisprudensi MA, pernikahan beda agama di Kantor Catatan Sipil dimungkinkan.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

1.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2.    Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan;

3.    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

 

Referensi:

Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986.

 

Tags: