Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Jual Beli Harta Warisan
Pada dasarnya, suatu jual beli batal apabila si pembeli tidak mengetahui bahwa objek jual beli tersebut menjadi hak orang lain.
Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
Dalam hal ini, jika tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris.
Artikel tersebut menyarikan pendapat Irma Devita Purnamasari dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris (hal. 176-177), di mana jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan.
Jika jual beli tersebut telah terjadi tanpa tanda tangan para ahli warisnya sebagai pemiliknya (karena tidak ada persetujuan dari para ahli waris) sehingga tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak, maka jual beli tersebut batal dan dianggap tidak pernah ada.
Gugatan Fatwa Waris
perkawinan;
waris;
wasiat;
hibah;
wakaf;
zakat;
infaq;
shadaqah; dan
ekonomi syari’ah.
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
[1]
Lebih lanjut, Pasal 50 UU 3/2006 menentukan bahwa:
Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Menurut hemat kami, dalam permohonan fatwa waris, tidak perlu diajukan pembatalan sertifikat. Dalam permohonan cukup disebutkan nilai nominal dari objek warisan yang telah terjual kepada pihak ketiga (yang beriktikad baik) untuk kemudian dijadikan perhitungan atau dasar pembagian warisan.
Demikian juga apabila bagian warisan ternyata merupakan hak waris saudara dan sudah dijual, cukup disebutkan saja bagiannya. Tidak ada ketentuan yang menentukan pembatalan jual beli bagian waris yang memang menjadi bagian seseorang dan tidak menjadi objek sengketa.
Mengingat fatwa waris juga belum ada, maka dapat diasumsikan pembeli sendiri tidak mengetahui bahwa atas objek jual beli terdapat hak orang lain. Oleh karena itu, ia hanya diberikan penggantian biaya atau ganti kerugian.
Di sisi lain, pembatalan sertifikat dapat dilakukan bila memang dapat dibuktikan adanya pengetahuan si pembeli bahwa benda yang dibelinya memang bukan milik si penjual.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Penjelasan Pasal 49 huruf b UU 3/2006