Dalam hukum ketatanegaraan, bagaimana sih proses amendemen UUD 1945? Mohon pencerahannya. Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Secara tegas, dalam UUD 1945 telah memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Adapun aturan untuk mengubah UUD 1945 diatur di dalam Pasal 37 UUD 1945. Lantas, bagaimana proses perubahan atau amendemen UUD 1945?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 4 April 2022.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
UUD 1945 merupakan aturan dasar atau aturan pokok negara (staatsgrundgesetz) yang dalam pembukaannya terdapat staatsfundamentalnorm sebagai pokok pikiran dari lahirnya aturan dasar atau aturan pokok negara tersebut.[1]
UUD 1945 memiliki fungsi strategis, salah satunya sebagai sumber dasar bagi terbentuknya peraturan perundang-undangan. Sebagai haluan bagi jalannya pemerintahan sekaligus peraturan perundang-undangan di bawahnya, UUD 1945 dapat disempurnakan sesuai dengan kebutuhan tata negara melalui mekanisme perubahan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Setelah reformasi, telah dilakukan empat kali amendemen UUD 1945 dalam kurun waktu tahun 1999-2002. Kini, wacana perubahan ke-5 UUD 1945 ramai menjadi perbincangan publik. Namun, pelaksanaan amendemen UUD 1945 bukanlah persoalan mudah. Lantas, bagaimana sebenarnya proses perubahan atau amendemen UUD 1945?
Mengacu pada Pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang benar adalah:
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur perubahan UUD 1945 yang pertama adalah adanya kehendak mayoritas anggota MPR terhadap ide perubahan UUD 1945.[2]Dalam hal ini, usulan perubahan UUD 1945 dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila minimal 1/3 anggota MPR mengajukan usulan perubahan UUD 1945.
Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa anggota MPR tidak dapat mengusulkan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3]
Usulan harus diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.[4] Usulan ini kemudian diserahkan kepada pimpinan MPR dan akan dikaji oleh panitia ad hoc apabila usul pengubahan telah memenuhi persyaratan.[5]
Persyaratan yang dimaksud dalam hal ini adalah terpenuhinya minimal 1/3 anggota MPR sebagai pengusul dan pasal yang diusulkan untuk diubah beserta alasan pengubahannya.
Selanjutnya, akan dilakukan Sidang Paripurna MPR yang harus dihadiri sekurang-kurangnya oleh 2/3 dari jumlah anggota MPR.[6] Apabila usulan tidak mendapat persetujuan pada Sidang Paripurna MPR, usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa keanggotaan MPR yang sama.[7]
Di sisi lain, putusan pengubahan pasal UUD 1945 dalam Sidang Paripurna MPR dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.[8]
Peran MPR dalam Proses Perubahan UUD 1945
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pasca reformasi, telah dilakukan perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali. Perubahan ini dilakukan sebagai respon dari tuntutan reformasi guna mempertegas alasan filosofis, politis, sosiologis, teoritis negara, dan sosiologis.
Pertama, maksud dari perubahan yang dilakukan atas alasan filosofis karena adanya pencampuradukan berbagai gagasan yang saling bertentangan, seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik antara negara hukum dengan faham negara kekuasaan;
Kedua, perubahan yang dilakukan atas alasan yuridis antara lain karena setiap konstitusi UUD 1945 sebagaimana lazimnya mencantumkan klausula seperti dalam Pasal 37 UUD 1945
Ketiga, perubahan yang dilakukan atas alasan politis karena secara sadar atau tidak, secara langsung atau tidak langsung, dalam praktek UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan dan atau penambahan yang menyimpang dari teks aslinya dari masa 1945-1949, maupun 1959-1998.
Keempat, perubahan yang dilakukan atas alasan teoritis karena didasarkan pada sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan menonjolkan pengintegrasian.[9]
Kelima, perubahan yang dilakukan atas alasan sosiologis karena pembuatan kebijakan pemerintah yang harus melihat kondisi nyata keadaan masyarakat atau tuntutan masyarakat yang sifatnya dinamis. Adapun dengan memperhatikan hubungan sosiolgis ini maka adanya perilaku masyarakat untuk menghormati, menerima dan mentaati hukum atau kebijakan tersebut.[10]
Setelah dilakukannya amandemen UUD 1945, MPR memiliki wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945.[11] Berbeda dengan pra perubahan UUD 1945, MPR tidak memiliki kewenangan yang rigid dalam hal mengubah UUD 1945, di mana MPR saat itu hanya memegang kewenangan untuk menetapkan UUD 1945.
Frasa “menetapkan” sendiri menimbulkan kerancuan. Apakah menetapkan mengindikasikan bahwa MPR hanya bisa “menetapkan” UUD 1945 sebagai UUD yang tetap dan tidak dapat diubah, atau MPR dapat mengubah, menyempurnakan, dan menetapkan UUD yang baru?[12]
Pertanyaan ini seakan dijawab dengan keluarnya Tap MPR 1/MPR/1978 yang menetapkan bahwa:
Majelis berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak berkendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekwen.
Bunyi pasal tersebut menegaskan bahwa MPR tidak berhak mengubah UUD 1945. Lalu, siapa lembaga yang berwenang melakukan perubahan UUD 1945 pasca reformasi?
Dengan tuntutan reformasi total pada konstitusi negara, MPR tetap melakukan perubahan UUD 1945. Hal ini disokong dengan adanya peraturan limitatif dalam Pasal 37 UUD 1945 mengenai kuorum pada Sidang Paripurna MPR.
Atas dasar tersebut, tercapailah pemenuhan atas tuntutan masyarakat untuk melakukan perubahan atau amendemen UUD 1945. Melalui perubahan tersebut, aturan kewenangan MPR dan proses amendemen UUD 1945 menjadi lebih rigid.