Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perjanjian menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diakses melalui laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di antaranya didefinisikan sebagai berikut:
Persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Sepakat adalah perjanjian yang dibuat secara bebas dan tidak ada paksaan, penipuan, atau penyesatan.
[1]
Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
Pada prinsipnya, setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian. Namun, dalam Pasal 1330 KUH Perdata dijelaskan beberapa pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni:
Orang yang belum dewasa, artinya, usia dibawah 21 tahun, kecuali ditentukan lain;
Mereka yang di bawah pengampuan (curtele of conservatorship);
Suatu Hal Tertentu
Dalam Pasal 1333 KUH Perdata ditentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (specific subject matter), berarti bahwa apa yang diperjanjikan yakni atas hal-hal yang jelas sifatnya. Selengkapnya bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Suatu Sebab yang Halal
Artinya, apapun yang diperjanjikan adalah harus sesuai dengan ketentuan undang-undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Dan juga sebaliknya, jika objek dalam perjanjian itu ilegal atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dikaitkan dengan kasus di atas, yang akan dibuat adalah perjanjian atas pertanggungjawaban terhadap asal-usul biologis anak akibat perzinaan. Perzinaan adalah perbuatan yang dilarang. Hal ini diatur dalam Pasal 284
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Perzinaan juga bertentangan dengan norma agama yang melarang manusia untuk berzina. Juga, kaedah umum masyarakat Indonesia mengenai perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang suami dan seorang istri. Artinya, mutlak adanya kesetiaan dalam hubungan perkawinan.
Sehingga, jika dikaitkan dengan syarat-syarat perjanjian khususnya suatu sebab yang halal, permintaan untuk membuat perjanjian adalah pekerjaan sia-sia saja karena perjanjian yang akan dibuat adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Jika nanti di kemudian hari timbul masalah tentang asal-usul anak biologis karena tidak diakui, pihak perempuan bisa mengajukan gugatan kepada pihak laki-laki di pengadilan.
Perlu diketahui juga bahwa saat ini teknologi untuk mengecek orang tua biologis anak sudah canggih.
Tentang siapa yang akan jadi saksi nantinya, sesuai dengan Pasal 1910 KUH Perdata adalah keluarga sedarah karena nantinya akan berkaitan dengan kedudukan keperdataan si anak yang lahir, khususnya untuk menentukan ayah biologisnya.
Namun, saksi yang paling kuat saat ini adalah keterangan ahli dalam bentuk hasil tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) yang tingkat kebenarannya sangat akurat dan telah diakui oleh para hakim.
Kesimpulan
Surat perjanjian yang dibuat sebagai hasil kejahatan adalah tidak mempunyai kekuatan hukum. Hasil tes DNA tentang asal usul biologis anak sudah diakui oleh pengadilan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Rineka Cipta Jakarta Timur, 2007;
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT Balai Pustaka (Persero): Jakarta Timur, 2014;
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, diakses pada tanggal 18 Juli 2019, pukul 14.02 WIB.
[1] Pasal 1321 KUH Perdata