1. Mengenai kewajiban-kewajiban istri Anda yang tidak dilakukan selama dalam perkawinan, tidak dapat dikategorikan ke dalam penipuan sebagaimana diatur dalam hukum pidana. Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengenai penipuan berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Mengamati unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut, perkawinan adalah lembaga yang sah menurut hukum yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), dan tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan dalam Pasal 378 KUHP.
Namun, Pasal 34 ayat (2) UUP menegaskan bahwa istri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya. Dan jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan (lihat Pasal 34 ayat [3] UUP).
Selanjutnya, dalam Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga dinyatakan bahwa kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Istri dapat dianggap nusyuz (durhaka/membangkang) apabila tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai istri, kecuali dengan alasan-alasan yang sah (lihat Pasal 84 ayat [1] KHI).
Dalam hal istri terbukti sah nusyuz, maka kewajiban suami terhadap istri juga tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya (lihat Pasal 84 ayat [2] dan ayat [4] KHI).
2. Unsur-unsur penipuan tidak terpenuhi sebagaimana kami sebutkan di atas dan perjanjian tertulis bukanlah dasar untuk menyatakan istri Anda menipu. Akta perkawinan tersebut hanyalah sebagai bukti pencatatan perkawinan Anda dan istri sebagai syarat sahnya perkawinan menurut hukum Indonesia. Lebih jauh simak artikel Resmi Tidaknya Suatu Pernikahan.
Rekomendasi Berita :
3. Dalam hal perkawinan terjadi karena paksaan, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Hal ini merujuk pada Pasal 6 UUP diatur mengenai syarat dilangsungkannya perkawinan yang salah satunya adalah bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Terhadap suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan tersebut, maka terhadap perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalannya (lihat Pasal 22 UUP). Karena itu, perkawinan yang dilakukan tidak atas persetujuan kedua calon mempelai (tapi atas dasar paksaan), maka terhadap perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalannya. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan antara lain oleh istri maupun suami (lihat Pasal 23 huruf a UUP). Lebih jauh simak artikel Menikah Karena Paksaan Orang Tua.
Jadi, Anda tidak dapat menuntut istri Anda dengan pidana penipuan, kecuali dalam hal unsur-unsur penipuan dalam Pasal 378 KUHP tersebut di atas terpenuhi.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
3. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)