Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh
Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan
pertama kali dipublikasikan pada Senin, 08 Juli 2013.
Intisari:
Ada yang dinamakan perjanjian melakukan pekerjaan atas dasar kemitraan (partnership agreement). Bentuknya, bisa perjanjian bagi hasil, perjanjian keagenan (baik secara pribadi atau korporasi), inti-plasma, sub-kontrak, perjanjian pembayaran (“setoran”) sejumlah -nilai- uang tertentu, dan lain-lain. Tidak adanya perjanjian kemitraan tidak berakibat sopir taksi tersebut dapat dikatakan sebagai karyawan/pekerja. Ini karena perjanjian itu sendiri tidak disyaratkan untuk dibuat secara tertulis (lihat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat sah perjanjian). Anda termasuk sebagai peserta bukan penerima upah, yang salah satunya meliputi pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri. Sebagai peserta bukan penerima upah, Anda wajib untuk mendaftarkan diri Anda pada program Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, serta Anda dapat pula mengikuti program Jaminan Hari Tua secara sukarela. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Hubungan Hukum Sopir Taksi dan Perusahaan Taksi
Kami kurang mendapat informasi yang jelas mengenai sistem yang diterapkan di perusahaan tersebut. Apakah dengan sistem penggajian, dengan sistem bagi hasil, ataukah dengan perjanjian pembayaran (“setoran”) sejumlah -nilai- uang tertentu.
Membaca keterangan Anda bahwa pengusaha berdalih sopir taksi bukanlah karyawan/pekerja tetapi mitra pengusaha, kami berasumsi bahwa ini adalah perjanjian kemitraan (mungkin dalam bentuk perjanjian pembayaran sejumlah uang dari sopir taksi kepada pengusaha).
Umar Kasim dalam artikelnya
Status Hukum Tenaga Kerja Tidak Tetap di Lingkungan Instansi Pemerintah, mengatakan bahwa ada yang dinamakan perjanjian melakukan pekerjaan atas dasar kemitraan (
partnership agreement). Bentuknya, bisa
perjanjian bagi hasil, perjanjian keagenan (baik secara pribadi atau korporasi), inti-plasma, sub-kontrak, perjanjian pembayaran (“setoran”) sejumlah -nilai- uang tertentu, dan lain-lain.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Agus Mulya Karsona, pengajar Hukum Perburuhan Universitas Padjadjaran, Bandung. Dalam artikel
Saat Hubungan Kemitraan Menjadi Hubungan Kerja, Agus antara lain menjelaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara hubungan kemitraan dengan hubungan kerja. Secara umum hubungan kemitraan memang tidak tunduk dengan UU Ketenagakerjaan. Hubungan kemitraan bersifat lebih mengedepankan
mutualisme di antara para pihak. Prinsipnya, kemitraan lebih menekankan pada hubungan saling menguntungkan. Posisi para pihak setara. Berbeda dengan posisi majikan-buruh dalam hukum ketenagakerjaan yang sifatnya atasan-bawahan. Secara khusus Agus juga menjelaskan bahwa:
Pada beberapa perusahaan pengangkutan, seperti perusahaan taksi ada perjanjian kemitraan yang menguntungkan kedua pihak. Banyak perusahaan taksi yang tak memberi gaji kepada sopirnya. Padahal sopir itu tetap harus menyetor sejumlah uang tiap harinya. Nah setelah sekian tahun, nanti taksi itu menjadi miliknya si sopir. Kalau seperti ini masih boleh. Karena ada keuntungan bagi si sopir.
Hubungan kemitraan akan menjadi berbeda, lanjut Agus, ketika perusahaan tak menjanjikan apapun selain imbalan uang tiap bulan. Apalagi kalau mobil untuk mengangkut adalah milik perusahaan.
Kemudian menjawab pertanyaan Anda terkait tidak adanya perjanjian sebagai mitra, perlu diketahui bahwa tidak adanya perjanjian kemitraan tidak berakibat sopir taksi tersebut dapat dikatakan sebagai karyawan/pekerja. Ini karena perjanjian itu sendiri tidak disyaratkan untuk dibuat secara tertulis (lihat Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat sah perjanjian).
Jaminan Sosial Bagi Sopir Taksi
Jika hubungan antara pengusaha dan sopir taksi adalah hubungan kemitraan, maka
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan peraturan perundang-undangan lain di bidang ketenagakerjaan
tidak berlaku. Ini karena peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mengatur mengenai hal-hal sehubungan dengan pekerja dan pengusaha.
Lebih spesifik, terkait dengan jaminan sosial tenaga kerja yang dituntut oleh para sopir taksi, jika merujuk pada UU Ketenagakerjaan, maka hal ini hanya berlaku bagi “pekerja”, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
Sedangkan, jika ini adalah perjanjian kemitraan, maka yang terjadi adalah bukan hubungan kerja atasan bawahan yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah, melainkan kesetaraan antara para pihak dalam hubungan kemitraan tersebut. Ini karena dalam hubungan kemitraan tidak ada unsur upah dan perintah. Apalagi kalau memang sistem yang digunakan oleh pengusaha tersebut adalah sistem setoran, yang berarti pengusaha tidak memberikan upah kepada sopir taksi, tetapi sopir taksi mendapat uangnya dari apa yang ia dapatkan hari itu setelah ia melakukan pembayaran setoran yang telah diperjanjikan.
Oleh karena itu, tuntutan sopir taksi tersebut tidak dapat menggunakan UU Ketenagakerjaan atau peraturan perundang-undangan lain di bidang ketenagakerjaan, karena terhadap perjanjian kemitraan tidak berlaku peraturan-peraturan tersebut.
Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS.
[2]
Karena hubungan Anda dengan perusahaan taksi bukan hubungan kerja melainkan hubungan kemitraan, maka tidak ada kewajiban bagi perusahaan taksi untuk mendaftarkan Anda kepada BPJS.
Namun, pada dasarnya
setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
[3] Oleh karena itu, Anda wajib mendaftarkan diri Anda sendiri sebagai peserta kepada BPJS.
Yang mana BPJS terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:
[4]- BPJS Kesehatan; dan
- BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program:
[5]- jaminan kecelakaan kerja (“JKK”);
- jaminan hari tua (“JHT”);
- jaminan pensiun; dan
- jaminan kematian (“JKM”).
Anda termasuk sebagai peserta bukan penerima upah. Mengenai program jaminan sosial mana yang wajib Anda ikuti sebagai peserta bukan penerima upah, dapat dilihat dalam masing-masing ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:
- Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
JKK dan JKM wajib diikuti oleh peserta bukan penerima upah.
Pasal 4 PP 44/2015
- Setiap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta dalam program JKK dan JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya sebagai Peserta dalam program JKK dan JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5 PP 44/2015
- Peserta program JKK dan JKM terdiri dari:
- Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara; dan
- Peserta bukan penerima Upah.
- Peserta penerima Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
- Pekerja pada perusahaan;
- Pekerja pada orang perseorangan; dan
- orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
- Peserta bukan penerima Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
- Pemberi Kerja;
- Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
- Pekerja yang tidak termasuk huruf b yang bukan menerima Upah.
Pasal 3 Permenaker 1/2016
Peserta Bukan Penerima Upah wajib mengikuti 2 (dua) program yaitu JKK dan JKM dan dapat mengikuti program JHT secara sukarela.
- Jaminan Hari Tua
JHT dapat diikuti secara sukarela oleh peserta bukan penerima upah.
Pasal 2 PP 46/2015
- Setiap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya dalam program JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai penahapan kepesertaan.
- Setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya dalam program JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Permenaker 1/2016 sebagaimana telah diubah dengan Permenaker 21/2017
Pasal 3 Permenaker 1/2016
Peserta Bukan Penerima Upah wajib mengikuti 2 (dua) program yaitu JKK dan JKM dan dapat mengikuti program JHT secara sukarela.
- Jaminan Pensiun
Ini berarti yang wajib untuk mengikuti jaminan pensiun adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja.
[8] Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
[9] Sedangkan Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
[10]
Hal serupa juga disebutkan dalam Pasal 2 Permenaker 29/2015 sebagai berikut:
- Peserta merupakan Pekerja yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara.
- Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Peserta penerima upah yang terdiri atas:
- Pekerja pada perusahaan; dan
- Pekerja pada orang perseorangan.
- Jaminan Kesehatan
- Penerima Bantuan Iuran (“PBI”) Jaminan Kesehatan; dan
- bukan PBI Jaminan Kesehatan.
Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan merupakan Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:
[12]- Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya;
- Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya; dan
- bukan Pekerja dan anggota keluarganya.
Pekerja Bukan Penerima Upah adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri.
[13] Pekerja Bukan Penerima Upah terdiri atas:
[14]- Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
- Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia.
[15]
Jadi, jika hubungan Anda dengan perusahaan taksi adalah hubungan kemitraan, maka Anda tidak bisa menggunakan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan atau peraturan perundang-undangan lain di bidang ketenagakerjaan. Sehingga perusahaan taksi tidak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan Anda pada program jaminan sosial. Namun, berdasarkan UU BPJS, Anda wajib mendaftarkan diri Anda sendiri sebagai peserta kepada BPJS.
Anda termasuk sebagai peserta bukan penerima upah, yang salah satunya meliputi pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri. Sebagai peserta bukan penerima upah, Anda wajib untuk mendaftarkan diri Anda pada program Jaminan Kesehatan, JKK dan JKM, serta Anda dapat pula mengikuti program JHT secara sukarela.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian;
- Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun;
- Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua;
- Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial;
- Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan kemudian diubah lagi kedua kalinya dengan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan;
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 29 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran dan Penghentian Manfaat Jaminan Pensiun;
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Bukan Penerima Upah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Bukan Penerima Upah.
Putusan:
[4] Pasal 5 ayat (2) UU BPJS
[6] Pasal 4 ayat (1) PP 45/2015
[7] Pasal 5 ayat (1) PP 45/2015
[8] Pasal 2 ayat (1) PP 45/2015
[9] Pasal 1 angka 5 PP 45/2015 dan Pasal 1 angka 5 Permenaker 29/2015
[10] Pasal 1 angka 6 PP 45/2015 dan Pasal 1 angka 6 Permenaker 29/2015
[11] Pasal 2 Perpres 12/2013
[13] Pasal 1 angka 8 Perpres 19/2016
[14] Pasal 4 ayat (3) Perpres 19/2016