KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Suami Diam-Diam Beli Properti untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya!

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Suami Diam-Diam Beli Properti untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya!

Suami Diam-Diam Beli Properti untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya!
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Suami Diam-Diam Beli Properti untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya!

PERTANYAAN

Suami saya diam-diam membelikan selingkuhannya satu unit apartemen tanpa persetujuan saya. Padahal, kami tidak pernah menandatangani perjanjian nikah yang berisi pemisahan harta. Bagaimana pandangan hukum terhadap hal ini? Bolehkah hal tersebut dilakukan? Jika tidak, maka apa konsekuensi hukumnya? Mohon pencerahannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada prinsipnya, suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta bersama dengan persetujuan dari pasangannya.

    Sehingga, setiap perbuatan hukum terhadap harta bersama, termasuk menggunakan harta bersama untuk pembelian properti berdasarkan perjanjian jual-beli dan hibah properti kepada orang lain berdasarkan perjanjian hibah, yang dilakukan oleh suami tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum.

    Selain itu, dalam hal transaksi jual-beli properti telah dipersyaratkan adanya Surat Persetujuan Jual Beli Properti yang ditandatangani oleh istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan Akta Jual Beli (“AJB”) dan persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh suami, sehingga transaksi jual-beli properti dapat dilaksanakan meski dalam kenyataannya sang istri tidak mengetahui perbuatan hukum tersebut, maka patut diduga bahwa sang suami telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Harta Bersama dalam Perkawinan

    Pada prinsipnya, UU 1/1974 (“UU Perkawinan”) mengenal 3 ragam harta dalam perkawinan, yakni:[1]

    KLINIK TERKAIT

    Pidana Selingkuh Tanpa Bersetubuh bagi Pasangan, Adakah?

    Pidana Selingkuh Tanpa Bersetubuh bagi Pasangan, Adakah?
    1. harta bawaan, yakni harta yang diperoleh suami-istri sebelum menikah;
    2. harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan; dan
    3. harta bersama, yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan.

    Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[2] Sehingga, suami dan istri memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaan.[3]

    Sedangkan terhadap harta bersama, suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya.[4]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Jadi, suami atau istri tidak dibenarkan melakukan tindakan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pasangannya.

    Hukumnya Jika Suami Beli Properti untuk Selingkuhan Tanpa Izin Istri

    Dalam kasus Anda, kami asumsikan bahwa sang suami telah melakukan 2 perbuatan hukum, yakni transaksi jual-beli properti berupa 1 unit apartemen berdasarkan perjanjian jual-beli dan hibah properti kepada perempuan yang menjadi selingkuhannya berdasarkan perjanjian hibah, yang mana properti tersebut dibeli menggunakan harta bersama.

    Dikarenakan jual-beli properti dan hibah properti menggunakan harta bersama, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum terhadap harta bersama. Oleh karenanya, kedua perbuatan tersebut harus dilakukan atas persetujuan atau izin istri.

    Lalu, apa konsekuensinya jika perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa izin/persetujuan istri?

    Mengenai konsekuensi hukum dalam hal suami/istri melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pasangannya dapat dijumpai dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2691 K/Pdt/1996 tertanggal tanggal 18 September 1998 yang mengandung kaidah hukum:[5]

    Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan suami istri, sehingga perjanjian lisan menjual tanah bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri adalah perjanjian yang tidak sah menurut hukum.

    Lebih lanjut, dalam yurisprudensi Mahkamah Agung lainnya diterangkan bahwa jual-beli tanah, yang merupakan bentuk perbuatan hukum terhadap harta bersama yang dilakukan tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum, sebagaimana tertuang dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/PDT/1997 tertanggal 24 Maret 1999 yang mengandung kaidah hukum:[6]

    Jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak isteri atau suami, harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum.

    Jika merujuk pada kedua yurisprudensi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan hukum terhadap harta bersama, termasuk berupa pembelian dan hibah properti dengan menggunakan harta bersama, yang dilakukan oleh suami tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum.

    Selain itu, jika merujuk pada syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), ditegaskan bahwa suatu perjanjian sah diantaranya jika memenuhi syarat “sebab yang halal”, yang berarti isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.[7]

    Perbuatan hukum yang dilakukan terhadap harta bersama tanpa persetujuan suami/istri melanggar ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, sehingga perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah tersebut tidak memenuhi syarat “sebab yang halal”. Konsekuensi perjanjian yang dibuat karena sebab yang terlarang ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata:

    Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

    Penjelasan mengenai alasan perbuatan hukum yang dilakukan tersebut menjadi batal demi hukum juga dapat disimak dalam artikel Hukumnya Menghibahkan Harta Bersama Tanpa Persetujuan Istri. Disarikan dari artikel tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan hukum tersebut batal demi hukum karena perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang. Dalam hal ini, suami dikatakan sebagai pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum karena perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa persetujuan istri.

    Masih dari sumber yang sama, Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam buku Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal.12-13) menegaskan, perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum.

    Karena batal demi hukum, maka konsekuensinya maka perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal dan keadaan kembali seperti semula.

    Baca juga: Pembatalan Perjanjian yang Batal Demi Hukum

    Oleh karenanya, dari sisi penjual properti, untuk mengantisipasi permasalahan hukum semacam ini di kemudian hari sebagaimana telah diterangkan di atas, maka penjual harus memastikan bahwa si pembeli yang telah menikah memenuhi persyaratan dokumen, di antaranya:

    1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan istri;
    2. Fotokopi Kartu Keluarga;
    3. Fotokopi Akta Nikah;
    4. Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh suami/istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan Akta Jual Beli (“AJB”).

    Dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat

    Dalam hal penjual telah mempersyaratkan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan AJB, dan suami yang bersangkutan telah melampirkan dokumen yang dipersyaratkan tersebut sehingga jual-beli properti dapat dilakukan tanpa sepengetahuan istri, maka patut diduga sang suami telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

    Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

    Untuk dapat dijerat Pasal 263 ayat (1) KUHP, R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) menjelaskan, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:

    1. Dapat menerbitkan hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya;
    2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya;
    3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kwitansi atau surat semacam itu; atau
    4. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi.

    Dengan demikian, apabila suami telah memalsukan surat persetujuan istri untuk membeli dan menghibahkan properti, maka perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana pemalsuan surat.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Referensi:

    1. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1995.
    2. Hulman Panjaitan. Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008 Berdasarkan Penggolongannya. Jakarta: Kencana, 2016.

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2691 K/Pdt/1996;
    2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/PDT/1997.

    [1] Pasal 35 UU Perkawinan

    [2] Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan

    [3] Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan

    [4] Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan

    [5] Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008, Berdasarkan Penggolongannya, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 228.

    [6] Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008, Berdasarkan Penggolongannya, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 228.

    [7] Pasal 1337 KUH Perdata

    Tags

    pertanahan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!