Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Syarat Daftar Nikah bagi Mualaf yang pertama kali pada Jumat, 12 Maret 2021.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait:
Rukun dan Syarat Sah Nikah
Untuk menjawab syarat daftar nikah yang Anda tanyakan, kami asumsikan bahwa Anda bertempat tinggal di Indonesia dan akan melaksanakan pernikahan di Indonesia. Kemudian, sebelum membahas syarat daftar nikah, akan kami informasikan kembali sejumlah syarat sah perkawinan berdasarkan ketentuan hukum Islam di Indonesia sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Pada dasarnya, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.[1] Selain itu, perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Terkait perpindahan agama yang dilakukan, syarat nikah mualaf adalah memenuhi rukun dan syarat sah nikah. Adapun rukun nikah yang dimaksud sebagai berikut:[3]
- calon suami;
- calon istri;
- wali nikah;
- dua orang saksi; dan
- ijab dan kabul.
Selain itu, harus dipastikan bahwa baik pada calon suami maupun calon istri tidak terdapat halangan perkawinan,[4] termasuk memastikan bahwa kedua belah pihak beragama Islam, karena laki-laki beragama Islam tidak boleh menikahi perempuan yang tidak beragama Islam[5], dan sebaliknya perempuan beragama Islam tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam.[6]
berita Terkait:
Adapun, khusus syarat nikah bagi wanita mualaf, maka perlu dipastikan yang akan bertindak sebagai wali nikah beragama Islam. Hal ini sesuai dengan syarat sah wali nikah menurut KHI yaitu muslim, akil dan baligh.[7]
Apabila ayah mempelai wanita tidak memenuhi syarat tersebut, maka dapat mencari wali nasab yang derajat kekerabatannya paling dekat dengannya, yang memenuhi syarat. Urutan derajat kekerabatan wali nasab dapat dilihat dalam Pasal 21 ayat (1) KHI. Jika wali nasab tidak ada yang memenuhi syarat, maka dapat menunjuk wali hakim.[8]
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya agar pernikahan sah dilakukan berdasarkan hukum Islam, kedua calon mempelai harus beragama Islam dan rukun dan syarat sah nikah harus dipenuhi.
Baca juga: Hukum Akad Nikah Tanpa Adanya Wali
Pencatatan Pernikahan di KUA
Selanjutnya, sebelum menjawab pokok pertanyaan yakni tentang syarat daftar nikah, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu prosedur pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (“KUA”) berdasarkan Permenag 20/2019.
Pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan beragama Islam dicatat dalam akta nikah.[9] Pencatatan pernikahan dalam akta nikah tersebut dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan, yang meliputi:[10]
- pendaftaran kehendak nikah;
- pemeriksaan kehendak nikah;
- pengumuman kehendak nikah;
- pelaksanaan pencatatan nikah; dan
- penyerahan Buku Nikah.
Pendaftaran Kehendak Nikah di KUA
Kapan pendaftaran nikah dilakukan? Pendaftaran kehendak nikah atau daftar nikah, dilakukan di KUA kecamatan tempat akad nikah paling lambat 10 hari kerja sebelum dilaksanakan pernikahan.[11] Bila kurang dari 10 hari kerja, calon pengantin harus mendapat surat dispensasi dari camat atas nama bupati/walikota tempat akad nikah dilaksanakan.[12]
Syarat Daftar Nikah
Pendaftaran kehendak nikah atau daftar nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi formulir permohonan dan melampirkan dokumen syarat daftar nikah berikut:[13]
- surat pengantar nikah dari desa/kelurahan tempat tinggal calon pengantin;
- fotokopi akta kelahiran atau surat keterangan kelahiran yang dikeluarkan oleh desa/kelurahan setempat;
- fotokopi kartu tanda penduduk/resi surat keterangan telah melakukan perekaman kartu tanda penduduk elektronik (“KTP-el”) bagi yang sudah berusia 17 tahun atau sudah pernah melangsungkan nikah;
- fotokopi kartu keluarga (“KK”);
- surat rekomendasi nikah dari KUA Kecamatan setempat bagi calon pengantin yang melangsungkan nikah di luar wilayah kecamatan tempat tinggalnya;
- persetujuan kedua calon pengantin;
- izin tertulis orang tua atau wali bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun;
- izin dari wali yang memelihara atau mengasuh atau keluarga yang mempunyai hubungan darah atau pengampu, dalam hal kedua orang tua atau wali meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya;
- izin dari pengadilan, dalam hal orang tua, wali, dan pengampu tidak ada;
- dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai usia sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan;
- surat izin dari atasan atau kesatuan jika calon mempelai berstatus anggota tentara nasional Indonesia atau kepolisian Republik Indonesia;
- penetapan izin poligami dari pengadilan agama bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang;
- akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak atau buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya UU 7/1989; dan
- akta kematian atau surat keterangan kematian suami atau istri dibuat oleh lurah atau kepala desa atau pejabat setingkat bagi janda atau duda ditinggal mati.
Setelah itu, Kepala KUA Kecamatan/Penghulu melakukan pemeriksaan terhadap dokumen nikah di atas[14] yang dilakukan di wilayah kecamatan tempat dilangsungkannya akad nikah[15] dengan menghadirkan calon suami, calon istri, dan wali untuk memastikan ada atau tidak adanya halangan untuk menikah.[16]
Dalam hal dokumen nikah dinyatakan lengkap, hasil pemeriksaan dokumen nikah dituangkan dalam lembar pemeriksaan nikah yang ditandatangani oleh calon suami, calon istri, wali, dan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu.[17]
Berdasarkan ketentuan di atas, untuk dapat melakukan pendaftaran kehendak nikah atau syarat daftar nikah yang diperlukan, calon pengantin memang wajib melampirkan fotokopi KTP dan KK. Dokumen-dokumen tersebut akan menjadi dasar bagi Kepala KUA Kecamatan/Penghulu dalam melakukan pemeriksaan dokumen nikah untuk memastikan ada atau tidak adanya halangan untuk menikah.
Haruskah Memperbarui Data di KTP-el dan KK Sebelum Menikah?
Dikutip dari Sahkah Perkawinan Mualaf Jika Kolom Agama di KK Belum Diubah?, sebenarnya tidak ada syarat daftar nikah yang secara eksplisit mengharuskan untuk mengubah kolom agama pada KK calon mempelai yang mualaf. Hal tersebut adalah persoalan administrasi kependudukan saja. Anda dapat memperbaharui data kependudukan Anda setelah menikah. Begitu pula dengan KTP, tidak terdapat ketentuan yang mensyaratkan perubahan keterangan agama dalam KTP bagi calon mempelai mualaf sebagai syarat mendaftarkan kehendak nikah.
Dengan demikian, menurut hemat kami, Anda dapat melakukan permohonan pendaftaran kehendak nikah atau memenuhi syarat daftar nikah meskipun belum memperbarui data kependudukan Anda pada KTP-el dan KK. Dengan catatan, bahwa perpindahan agama Anda menjadi Islam dapat dibuktikan, yang salah satunya pembuktiannya dapat dilakukan melalui Surat Keterangan Mualaf yang Anda miliki.
Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam hal terjadi perubahan elemen data, rusak, atau hilang, penduduk pemilik KTP-el wajib melaporkan kepada instansi pelaksana untuk dilakukan perubahan atau penggantian.[18] Adapun yang dimaksud dengan instansi pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan.[19]
Sehingga, meski perubahan KTP tidak diperlukan dalam syarat daftar nikah, berdasarkan ketentuan tersebut, secara hukum Anda wajib melaporkan perubahan data agama Anda untuk dapat dilakukan perubahan atau penggantian KTP-el.
Selengkapnya mengenai tahapan mengurus perubahan agama pada KTP dan KK dapat Anda simak dalam Tahapan Mengurus Perubahan Agama Pada KTP dan Cara Mengurus Kartu Keluarga Jika Pindah Agama Setelah Menikah.
Demikian jawaban dari kami perihal syarat daftar nikah, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
- Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
[1] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
[2] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
[3] Pasal 14 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
[4] Pasal 18 KHI
[5] Pasal 40 huruf c KHI
[6] Pasal 44 KHI
[7] Pasal 20 ayat (1) KHI
[8] Pasal 23 ayat (1) KHI
[9] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan (“Permenag 20/2019”)
[10] Pasal 2 ayat (2) dan (3) Permenag 20/2019
[11] Pasal 3 ayat (1) dan (3) Permenag 20/2019
[12] Pasal 3 ayat (4) Permenag 20/2019
[13] Pasal 4 ayat (1) Permenag 20/2019
[14] Pasal 5 ayat (1) Permenag 20/2019
[15] Pasal 5 ayat (2) Permenag 20/2019
[16] Pasal 5 ayat (3) Permenag 20/2019
[17] Pasal 5 ayat (4) Permenag 20/2019
[18] Pasal 64 ayat (8) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”)
[19] Pasal 1 angka 7 UU 24/2013