Harta Bawaan dan Harta Bersama
Sebelum masuk pada pembahasan tentang hak masing-masing dari mantan suami dan mantan istri atas harta bersama, perlu diperjelas dulu tentang harta dalam kehidupan rumah tangga atau perkawinan.
Pertama, harta bawaan. Ketika seseorang memasuki dunia rumah tangga melalui akad nikah, maka pada umumnya suami dan istri telah memiliki harta sendiri-sendiri.
Bagi yang sudah memiliki harta sendiri, biasanya itu berupa harta yang dicarinya sendiri sebelum perkawinan maupun harta yang diberikan oleh orang tua, baik berupa hibah, hadiah maupun warisan.[1]
Dalam kondisi di mana masing-masing telah memiliki harta, masing-masing tidak harus meleburkan hartanya dan diperbolehkan menurut aturan bahwa harta tetap ada pada kepemilikan masing-masing.[2]
Namun jika dikehendaki, maka harta tersebut dapat dileburkan menjadi kepemilikan bersama, yang berarti terjadi pelepasan hak dari masing-masing suami dan istri untuk kemudian melebur menjadi kepemilikan bersama,[3] termasuk harta bawaan berupa warisan yang didapatkan ketika istri atau suami sudah berada dalam ikatan perkawinan.
Kedua, harta bersama, adalah harta yang didapat selama perkawinan.[4] Harta bersama juga disebut dengan harta syarikat.[5]
Begitu seorang lelaki dan seorang wanita menikah, maka kemudian harta yang diperoleh baik oleh suami atau istri atau secara bersama oleh suami dan istri, kemudian menjadi harta yang dipakai secara bersama-sama untuk memenuhi seluruh keperluan keluarga.
Harta yang didapat ini kemudian menjadi harta bersama atau yang dikenal juga dengan istilah gono gini.[6] Maka, semua perolehan dari pencarian nafkah selama dalam ikatan perkawinan ini lazimnya menjadi harta bersama.
Meskipun pada dasarnya suami akan memiliki harta yang didapatnya dan kemudian istri juga berhak atas harta yang didapatkannya, namun di antara makna ikatan perkawinan adalah hidup secara bersama.
Mohammad Daud Ali dalam buku Asas-Asas Hukum Islam menerangkan bahwa salah satu asas hukum perkawinan dalam Islam adalah asas kemitraan (hal. 125), yaitu kedua orang yang telah terikat perkawinan akan hidup bukan sebagai dua orang yang masing-masing individu tetap terpisah oleh haknya masing-masing, namun hidup secara saling memikul apa yang menjadi keperluan keluarga atau bahtera rumah tangga.
Pembagian Harta Bersama
Berhubung harta bersama ini merupakan suatu ijtihad, yaitu sebuah putusan atau pendapat hukum yang disimpulkan oleh para ahli hukum Islam, maka kemudian dalam pembagiannya juga merupakan suatu ijtihad, yaitu keputusan atau pendapat dari ulama.
Dalam KHI, ditentukan bahwa harta bersama adalah milik bersama dan jika terjadi perceraian, maka untuk pembagiannya adalah semua harta dibagi dua (masing-masing mendapatkan separuh atau setengah) sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.[7]
Tentu saja harta bersama ini akan dibagi jika memang berbagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh keluarga tersebut sudah dilakukan, misalnya saja pelunasan utang atau pembayaran upah asisten rumah tangga, atau pembayaran lain.
Sehingga, patut diperhatikan bahwa harta yang dibagi adalah harta yang sudah bersih dari kewajiban pembayaran atau utang.
Pembagian ini dapat saja berbeda jika ditentukan lain oleh hakim, misalnya timbul pertimbangan hukum terkait fakta bahwa mantan istri lebih banyak menyumbang dalam perekonomian keluarga, sehingga pembagian harta bersama mungkin tidak akan seimbang.
Maka, karena dalam proses perceraian melalui Pengadilan Agama dan dari proses selama persidangan terungkap bahwa harta bersama tersebut sebenarnya banyak didapat oleh mantan istri, maka dapat saja mantan istri diberikan lebih banyak porsi dari harta bersama.
Setelah pembagian dilakukan, maka masing-masing pihak (mantan suami atau mantan istri) tidak lagi dapat saling membebankan suatu kewajiban kepada yang lainnya.
Dengan kata lain, masing-masing sudah memiliki kewajiban yang berbeda tergantung apa yang dilakukannya dengan bagian yang didapat dari pembagian harta bersama tersebut.
Demikian halnya terhadap harta yang setelah melalui pembagian menjadi hak masing-masing, maka konsekuensi dan semua kewajiban atas harta bagiannya juga ditanggung sendiri-sendiri.
Dari uraian di atas dapat diberikan jawaban untuk pertanyaan Anda sebagai berikut:
- Terkait perhiasan yang sudah dijual, mantan suami tidak perlu lagi membelikan perhiasan baru sebagai gantinya. Hal itu dikarenakan bahwa perhiasan itupun dibeli pada saat hidup bersama, bukan mahar dan setelah itu perhiasan itu dijual untuk kepentingan bersama.
Lain masalahnya jika penjualan itu untuk kepentingan mantan suami di luar kaitannya dengan keluarga dan dengan akad peminjaman kepada mantan istri. Maka penjualan itu menjadi utang yang harus dibayar mantan suami.
Tetapi jika itu untuk kepentingan bersama dan atas dasar kesepakatan bersama, maka hal itu tidak perlu diganti karena, dalam kehidupan rumah tangga, hal itu adalah kebiasaan yang sudah diterima dan dinilai wajar dalam masyarakat;
- Terkait dengan kredit mobil, maka menjadi utang yang harus dikurangi dari harta bersama sebelum dibagi. Maka, sebaiknya semua utang harus diselesaikan dengan harta bersama yang ada, lalu mobil tersebut dijual dan hasil penjualannya dibagi. Namun jika itu sudah telanjur dibawa mantan istri dan mantan suami merelakan, mestinya mantan suami tidak harus melunasinya, karena sudah bukan hak milik mantan suami lagi;
- Terkait rumah yang akan dijual juga berlaku sama dengan ketentuan harta bersama lain, yaitu dibagi dua, kecuali pengadilan menentukan lain. Maka setelah rumah dijual, hasil penjualan akan dibagi dan kemudian setelah itu lepas dari tanggung jawab mantan suami, karena rumah sudah merupakan hak dan tanggung jawab pembeli.
Segala iuran menjadi kewajiban pemilik rumah baru. Namun jika rumah itu sudah diberikan kepada mantan istri, maka tanggung jawab iuran bulanan untuk biaya yang ditentukan oleh kompleks perumahan sudah bukan lagi merupakan tanggungan mantan suami. Bahkan jika pun ada kewajiban-kewajiban lain atas rumah itu, juga menjadi tanggung jawab dari mantan istri sebagai pemilik.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Mohammad Daud Ali. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 1991.
[1] Pasal 87 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
[2] Pasal 86 ayat (1) dan (2) KHI
[3] Pasal 87 ayat (1) KHI
[4] Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
[5] Pasal 47 ayat (3) KHI
[6] Pasal 190 KHI
[7] Pasal 97 KHI