Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Berdasarkan keterangan Anda, sertifikat yang Anda maksud berarti sertifikat tanda kepemilikan atas kebendaan yang dijaminkan untuk pelunasan utang yang berada dalam penguasaan bank. Selain itu, ulasan berikut hanya terbatas pada jaminan dalam bentuk hak tanggungan untuk memfokuskan jawaban.
Bank selaku Pemegang Hak Tanggungan
Salim H.S. dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia yang mengutip Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan (hal. 22).
Masih bersumber dari buku yang sama, sifat perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokok. Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam bentuk lisan dan tertulis. Dalam dunia perbankan, perjanjian pembebanan jaminan biasanya dilakukan dalam bentuk tertulis yang berupa akta di bawah tangan dan/atau akta autentik (hal. 30 – 31).
Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.
[1]
Sementara, pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
[2] Dalam hal ini, berarti Anda berperan sebagai debitur sekaligus pemberi hak tanggungan dan bank berperan sebagai kreditur sekaligus pemegang hak tanggungan.
Pemberian dan Pendaftaran Hak Tanggungan
Perlu Anda ketahui, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
[3]
Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji, antara lain:
[4]janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan;
janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan;
janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji;
janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan objek hak tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji;
janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan;
janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan;
janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek hak tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek hak tanggungan diasuransikan;
janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan;
janji mengembalikan sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (pemberi hak tanggungan), kecuali jika diperjanjikan lain.
[5]
Selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT dan warkah lain yang diperlukan untuk didaftarkan ke kantor pertanahan.
[6]
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
[7] Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan.
[8]
Akibat dari Sertifikat Hak atas Tanah Rusak
Patut dipahami bahwa setidaknya terdapat 2 kemungkinan yang dapat terjadi terhadap tanah dan sertifikat hak atas tanah tersebut.
Pertama, apabila debitur memenuhi prestasi atau melunasi kredit sesuai perjanjian pokok yang telah disepakati. Oleh karenanya, sertifikat hak atas tanah sudah seharusnya dikembalikan kepada debitur dan dilakukan pencoretan catatan hak tanggungan atas hapusnya hak tanggungan akibat hapusnya hutang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a UUHT.
Kedua, apabila debitur wanprestasi atau cidera janji, sehingga mengakibatkan dapat dieksekusinya objek hak tanggungan melalui pelelangan umum.
[9]
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan pun dapat dilakukan di bawah tangan, jika dengan demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak, dengan terlebih dulu mengumumkannya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada para pihak dan tidak ada yang menyatakan keberatan.
[10]
Dengan demikian, menurut hemat kami, rusaknya sertifikat hak atas tanah berakibat pada terhambatnya proses pengembalian sertifikat, pelelangan umum, maupun penjualan di bawah tangan objek hak tanggungan. Maka dari itu, jika sertifikat hak atas tanah rusak, maka harus diterbitkan sertifikat pengganti.
Penerbitan Sertifikat Tanah Pengganti
Atas permohonan pemegang hak, diterbitkan sertifikat baru sebagai sertifikat pengganti sertifikat yang rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertifikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi.
[11]
Permohonan sertifikat pengganti hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 41 PP 24/1997, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1) PP 24/1997, atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53 PP 24/1997, atau kuasanya.
[12]
Adapun pemberian hak tanggungan merupakan salah satu hak atas tanah yang didaftarkan
[13] sebagaimana juga diterangkan dalam UUHT.
Maka, menurut hemat kami, bank selaku pemegang hak tanggungan yang dicatat juga dalam buku tanah hak atas tanah adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk mengajukan permohonan sertifikat pengganti dari sertifikat yang rusak.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Salim H.S. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
[1] Pasal 8 ayat (1) UUHT
[3] Pasal 10 ayat (2) UUHT
[4] Pasal 11 ayat (2) UUHT
[5] Pasal 14 ayat (4) UUHT
[6] Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT
[7] Pasal 13 ayat (3) UUHT
[8] Pasal 13 ayat (5) UUHT
[9] Pasal 20 ayat (1) UUHT
[10] Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUHT
[11] Pasal 57 ayat (1) PP 24/1997
[12] Pasal 57 ayat (2) PP 24/1997
[13] Pasal 23 huruf e PP 24/1997