Bagaimana pertanggungjawaban korporasi secara pidana dalam hal korporasi menyebabkan kerusakan hutan? Siapa yang bertanggung jawab dan apa dasar hukumnya?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Perlu diketahui bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal korporasi menyebabkan kerusakan hutan, maka korporasi dan atau pengurusnya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana atas perbuatan perusakan hutan.
Lantas, apa saja kegiatan yang tergolong dalam perusakan hutan? Apa sanksinya bagi korporasi yang menyebabkan kerusakan hutan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tanggung Jawab Korporasi Terhadap Perusakan Hutan yang ditulis oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 8 April 2015.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan korporasi. Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi adalah suatu badan hasil cipta hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalam hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian, sehingga badan hukum itu adalah ciptaan hukum.[1]
Kemudian, Yan Pramadya Puspa berpendapat bahwa korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum, yaitu suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona). Kemudian, korporasi sebagai pengemban atau pemilik hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan.[2]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Definisi korporasi tersebut sejalan dengan Pasal 37 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 22 UU P3H, yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
Sedangkan korporasi itu sendiri juga termasuk dalam kategori “setiap orang”, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 21 UU P3H yang berbunyi:
Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.
Lantas, apa hukumnya bagi korporasi yang melakukan perusakan hutan? Berikut ulasannya.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Perusakan Hutan
Pada dasarnya, pencegahan perusakan hutan sudah menjadi tanggung jawab masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan.[3]
Menjawab pertanyaan Anda, maka korporasi bisa dimintakan pertanggungjawaban terhadap perusakan hutan. Adapun yang dimaksud dengan perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa perizinan berusaha atau penggunaan perizinan berusaha yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian perizinan berusaha di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah pusat.[4]
Hal tersebut juga terlihat dari sejumlah aturan larangan perusakan hutan yang terdapat ancaman pidananya bagi korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 angka 3 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 UU P3H bahwa setiap orang dilarang:
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan;
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat;
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat;
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat;
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat;
memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;
mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara;
menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara;
menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar;
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
Korporasi yang melanggar larangan pada huruf a, b, dan c pada ketentuan di atas, maka pengurusnya berpotensi dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar. Kemudian, korporasi juga berpotensi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.[5] Sanksi pidana yang serupa juga berlaku bagi korporasi yang melanggar larangan pada huruf d, e, dan h.[6]
Korporasi yang melanggar larangan pada huruf f,pengurusnya diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp15 miliar, dan/atau korporasi berpotensi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.[7]
Lebih lanjut, korporasi yang melanggar ketentuan huruf g, maka pengurusnya dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar. Lalu, korporasi juga bisa dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.[8]
Sedangkan, korporasi yang melanggar ketentuan pada huruf i dan j, pengurusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp 15 miliar.[9]
Begitu pula dengan korporasi yang melanggar ketentuan huruf k, l, dan m, maka pengurusnya dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp 15 miliar.[10]
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, terhadap korporasi yang melakukan perusakan hutan, maka pihak yang dimintai pertanggungjawaban pidana adalah korporasi dan atau pengurusnya.
Tanggung jawab pidana pengurus korporasi atas perusakan hutan diatur secara tegas dalam Pasal 109 ayat (3) UU P3H yang berbunyi:
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Untuk korporasi yang berbadan hukum seperti perseroan terbatas (“PT”), pertanggungjawaban pidana ada pada direksinya. Hal ini tercermin dalam Pasal 109 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 5 UU PT sebagai berikut:
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Adapun, terhadap korporasi yang melakukan perusakan hutan dijatuhi pidana pokok berupa pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103 UU P3H. Selain itu, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan.[11]
Selain dikenakan sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan misalnya Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c UU P3H, korporasi juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa:[12]