Perusahaan kami terikat kontrak tanah timbun untuk keperluan pembangunan infrastruktur kebun dengan pihak kontraktor (CV). Namun, realisasinya ternyata tanah timbun yang digunakan oleh kontraktor berasal dari lahan milik masyarakat yang diambil tanpa Izin Usaha Pertambangan (kontraktor tidak memiliki izin pertambangan karena informasinya hanya mengambil tanah bukit milik masyarakat yang ukurannya hanya 50x50 m dan sudah mendapat izin dari pemilik lahan). Selanjutnya pihak kepolisian melakukan proses hukum pidana terhadap perusahaan kami karena diduga menampung tanah timbun (galian C) dari kontraktor yang tidak punya Izin Usaha Pertambangan. Untuk itu, mohon bantuan menjawab pertanyaan kami sebagai berikut:
Bagaimana mekanisme perizinan pertambangan pasca diambil alih oleh pemerintah pusat?
Adakah ketentuan minimal luasan lahan lokasi tambang yang tidak memerlukan izin?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Istilah tanah timbun atau bahan galian C yang Anda maksud kini tidak dikenal lagi, melainkan diganti menjadi batuan yang salah satunya berupa tanah urug berdasarkan UU 4/2009dan perubahannya.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan penambangan batuan, maka perlu mendapatkan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) dengan memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan dan finansial. Kemudian adakah ketentuan luas minimal untuk penambangan batuan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pertama-tama perlu kami luruskan terlebih dahulu bahwa terminologi bahan galian golongan C yang dulu diatur dalam UU 11/1967 kini tidak dikenal lagi dalam UU 4/2009dan perubahannya. Terminologi bahan galian golongan C telah diubah menjadi batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan diganti menjadi batuan. Oleh karena itu, guna menyederhanakan jawaban, kami akan secara spesifik membahas mengenai izin penambangan batuan.
Sebelumnya melalui UU 4/2009, usaha pertambahangan dilaksanakan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).[1] Namun kemudian, melalui UU 3/2020 pemberian izin diperluas lagi salah satunya Surat Izin Penambangan Batuan (“SIPB”).[2]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
SIPB adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu.[3] Adapun yang dimaksud dengan batuan jenis tertentu atau keperluan tertentu meliputi batuan yang memiliki sifat material lepas berupa tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, kerikil berpasir alami (sirtu), tanah, pasir laut, tanah merah (laterit), tanah liat dan batu gamping.[4]
Dengan demikian, menurut hemat kami, tanah timbun sebagaimana Anda sebutkan dalam pertanyaan, termasuk dalam kategori ‘batuan yang memiliki sifat material lepas berupa tanah urug’. Sehingga, jenis izin yang digunakan adalah SIPB.
Menjawab pertanyaan pertama Anda, permohonan SIPB diajukan kepada Menteri di bidang pertambangan mineral dan batubara (“Menteri”),[7] berdasarkan permohonan yang telah memenuhi syarat administratif, teknis, lingkungan dan finansial.[8] Selain persyaratan tersebut, permohonan juga harus dilengkapi dengan koordinat dan luas wilayah batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang dimohon.[9]
Patut diperhatikan, permohonan SIPB hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Usaha Pertambangan (WUP).[10]
Lebih lanjut, syarat-syarat permohonan SIPB kemudian dielaborasi lebih detail dalam Pasal 131 PP 96/2021dengan rincian sebagai berikut:
Syarat administratif meliputi:
suratpermohonan;
nomor induk berusaha (NIB);
susunan pengurus, daftar pemegang saham atau modal, dan daftar pemilik manfaat dari BUMD atau Badan Usaha Milik Desa, badan usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri, koperasi, atau perusahaan perseorangan; dan
salinan kontrak/perjanjian pelaksanaan proyek pembangunan yang dibiayai oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah bagi permohonan SIPB untuk keperluan tertentu.
Persyaratan teknis berupa surat pernyataan untuk tidak menggunakan bahan peledak dalam kegiatan usaha penambangan.
Persyaratan lingkungan berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Persyaratan finansial berupa laporan keuangan satu tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Menyampaikan koordinat dan luas wilayah batuan jenis tertentu untuk keperluan tertentu yang dimohon.
Setelah itu, pemegang SIPB dapat langsung melakukan penambangan setelah memiliki dokumen perencanaan penambangan yang telah disetujui Menteri, yang terdiri atas:[11]
dokumen teknis yang memuat paling sedikit:
informasi cadangan; dan
rencana penambangan.
dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Luas WilayahPenambangan Batuan
Selanjutnya menjawab pertanyaan kedua Anda terkait ketentuan minimal luasan lahan lokasi tambang untuk SIPB adalah paling luas 50 hektare, sehingga tidak ada ketentuan minimal melainkan hanya ketentuan maksimal saja. Berikut bunyi ketentuan Pasal 86C UU 3/2020:
Pemegang SIPB dapat diberikan wilayah paling luas 50 (lima puluh) hektare.
Kami pun mencermati kembali bunyi Pasal 86A ayat (5) UU 3/2020 terdapat syarat luas wilayah batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang harus dicantumkan untuk mendapatkan SIPB. Dengan demikian, berapapun luas wilayah pertambangan batuan berupa tanah timbun atau tanah urug dengan ketentuan maksimal paling luas 50 hektare, tetap memerlukan SIPB.
Hal ini sejalan dengan politik perizinan menurut S.F. Marbundalam bukunya berjudulHukum Administrasi Negara I (Administrative Law I), bahwa izin merupakuan instrumen untuk mengendalikan dan mengatur perilaku masyarakat agar melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, utamanya untuk membatasi gerak gerik masyarakat (hal. 415).
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.