Di daerah saya ada pembangunan gedung apartemen baru. Banyak warga yang merasa terganggu akibat getaran dan proses pembangunan tersebut. Dapatkah mereka mendapatkan kompensasi atas gangguan tersebut? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pembangunan gedung apartemen merupakan salah satu bentuk kegiatan pekerjaan konstruksi yaitu keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
Jika proses pekerjaan konstruksi itu berdampak pada masyarakat, seperti adanya getaran, polusi, dan kebisingan/kegaduhan, maka masyarakat berhak untuk melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya mendapatkan ganti kerugian terhadap dampak pembangunan tersebut. Apa dasar hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Gangguan Pembangunan Gedung yang dibuat oleh Aisyah Aiko Pulukadang, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 29 Maret 2010.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Dasar Hukum Kompensasi atas Dampak Pekerjaan Konstruksi
Pembangunan gedung apartemen di wilayah tempat tinggal Anda termasuk salah satu bentuk pekerjaan konstruksi berdasarkan UU Jasa Konstruksi. Pasal 1 angka 3 UU Jasa Konstruksi menerangkan bahwa pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada saat berlangsungnya pekerjaan konstruksi, masyarakat sangat dimungkinkan untuk terkena dampak, seperti adanya getaran, polusi, dan kebisingan/kegaduhan. Dalam hal ini, maka masyarakat berhak untuk melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya mendapatkan ganti kerugian terhadap dampak pembangunan tersebut.
Hak masyarakat untuk mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi atas dampak pekerjaan konstruksi diatur di dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b UU Jasa Konstruksi sebagai berikut:
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan cara:
…
b. melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan Jasa Konstruksi;
Mekanisme Ganti Kerugian atau Kompensasi atas Dampak Pekerjaan Konstruksi
Mekanisme yang dapat dilakukan untuk memperoleh ganti kerugian atau kompensasi diatur dalam Pasal 144 ayat (1) dan ayat (2) PP 22/2020, yakni sebagai berikut:
Gugatan dan upaya mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi terlebih dahulu diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan.
Gugatan dan upaya mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai kemufakatan tidak menghasilkan kesepakatan maka disampaikan ke pengadilan.
Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan jasa konstruksi tersebut merupakan tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.[1]
Adapun, tata cara pengajuan gugatan dan upaya mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi mengacu pada ketentuan hukum perdata.[2]
Berkaitan dengan gugatan, Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 46) menjelaskan bahwa gugatan mengandung sengketa di antara kedua belah pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak. Penyelesaian sengketa di pengadilan ini melalui proses sanggah-menyanggah dalam bentuk replik dan duplik. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja.
Untuk menggugat developer atau pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan tersebut, masyarakat dapat menggunakan dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Selanjutnya, terdapat beberapa jenis tuntutan mengenai ganti kerugian atau kompensasi atas perbuatan melawan hukum, antara lain:[3]
ganti kerugian dalam bentuk uang;
ganti kerugian dalam bentuk naturaatau pengembalian keadaan pada keadaan semula;
pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum;
larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;
pengumuman dari pada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Berkaitan dengan besarnya ganti kerugian, pihak yang memohon seharusnya dapat membuktikan permohonannya. Namun, karena sulitnya pembuktian, maka hakim dapat menentukan besarnya kerugian menurut rasa keadilan. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum dalam Putusan MA No. 610 K/Sip/1968 yang menyebutkan bahwa meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedangkan penggugat tetap pada tuntutannya, hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar.
Dengan demikian, berdasarkan uraian kami di atas, masyarakat yang terkena dampak pekerjaan konstruksi berupa pembangunan gedung apartemen, dapat meminta ganti kerugian atau kompensasi melalui gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri. Namun, sebelum diajukan gugatan, tetap harus dilakukan upaya penyelesaian masalah dengan musyawarah untuk mufakat.