Hukumnya Pengusaha Mencicil Upah
Dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”), ditegaskan bahwa upah wajib dibayarkan kepada karyawan dan pengusaha pun wajib memberikan bukti pembayaran upah yang memuat rincian upah yang diterima oleh karyawan pada saat upah dibayarkan.
Pengusaha wajib membayar upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha dengan karyawan.[1]
Pembayaran upah oleh pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 kali atau paling lambat sebulan 1 kali kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari 1 minggu.[2]
Apabila hari atau tanggal yang telah disepakati jatuh pada hari libur atau hari yang diliburkan, atau hari istirahat mingguan, pelaksanaan pembayaran upah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[3]
Terkait pertanyaan Anda, upah karyawan harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran upah.[4]
Dalam artikel Bolehkah Perusahaan Membayar Gaji dengan Mencicil?, pada pokoknya telah diuraikan bahwa upah tidak bisa dicicil karena harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode atau tanggal pembayaran yang telah diperjanjikan.
Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dapat dikenai denda, dengan ketentuan:[5]
- mulai dari hari ke-4 sampai hari ke-8 terhitung tanggal seharusnya upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah yang seharusnya dibayarkan;
- sesudah hari ke-8, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan; dan
- sesudah 1 bulan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah kepada karyawan.[6]
Upah Karyawan yang Dirumahkan Sementara karena Wabah COVID-19
Pada tanggal 17 Maret 2020, telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 (“SE Menaker M/3/HK.04/III/2020”).
Terkait pertanyaan Anda, perlindungan pengupahan bagi karyawan yang dirumahkan sementara karena wabah COVID-19 diatur dengan ketentuan sebagai berikut:[7]
Melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi COVID-19
- Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
- Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.
- Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
- Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Jadi, upah bagi karyawan yang dirumahkan sementara akibat wabah COVID-19, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, maka perubahan besaran dan cara pembayaran upah dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan karyawan, sehingga perubahan tersebut tidak dilakukan sepihak oleh pengusaha.
Sebagai contoh, berdasarkan surat edaran tersebut, pengusaha dapat menurunkan besaran upah yang harus dibayarkan kepada karyawannya agar tetap memiliki cukup modal bagi keberlangsungan usahanya di tengah wabah COVID-19 ini sepanjang atas kesepakatan antara pengusaha dengan karyawan.
Patut dicatat, menurut hemat kami, perubahan yang dimaksud tidak dimaksudkan untuk mencicil upah karyawan, melainkan perubahan pada besaran dan cara pembayaran upah yang harus tetap dibayarkan seluruhnya dengan tetap mengindahkan ketentuan pembayaran upah dalam PP 78/2015.
Jika pengusaha tidak melaksanakan ketentuan di atas dan mengubah besaran maupun cara pembayaran upah secara sepihak, hal ini berpotensi menimbulkan perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan hak yang harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: