Wanprestasi dan Kepailitan, Mana yang Didahulukan?
Perdata

Wanprestasi dan Kepailitan, Mana yang Didahulukan?

Pertanyaan

Debitor telah digugat kreditor 1 melalui gugatan wanprestasi dan sedang dalam proses persidangan, tetapi kreditor 2 dan kreditor 3 tiba-tiba mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Apakah gugatan wanprestasi menjadi diberhentikan atau dengan kata lain kreditor 1 dipersilakan untuk mengikuti proses persidangan pailit?

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Untuk mengetahui mana yang didahulukan antara gugatan wanprestasi atau permohonan pailit, Anda harus merujuk dari bunyi Pasal 27 jo. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan gugatan wanprestasi merujuk dari Pasal 1238 jo. 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bagaimana bunyi dan akibat hukumnya?

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Wanprestasi dan Kepailitan Serta Akibat Hukumnya

Ketentuan wanprestasi dapat dilihat dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang isinya:

Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Lebih lanjut, menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian merincikan unsur-unsur dari wanprestasi adalah sebagai berikut (hal. 45):

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat hukum dari adanya wanprestasi maka pihak yang dinyatakan wanprestasi dapat diminta untuk melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga.[1]

Sedangkan jika kita merujuk Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUKPKPU”) mendefinisi tentang kepailitan yaitu:

Kepailitan adalah sita umum atas kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang–Undang ini.

Akibat hukum dengan adanya putusan pailit, maka seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, berada di bawah sita umum kepailitan.[2]

Pernyataan putusan pailit pada umumnya berangkat dari keadaan wanprestasi atau cidera janji yang dilakukan oleh debitor terhadap kreditornya karena debitor tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas utang-utangnya, namun dalam hal ini debitor dimohonkan dalam kasus pailit.

Adapun permohonan pernyataan pailit sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU menjelaskan dengan kedua syarat, yakni:

  1. Adanya dua atau lebih kreditor; dan
  2. Terdapat sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

 

Wanprestasi dan Kepailitan, Mana yang Didahulukan?

Menjawab pertanyaan Anda, untuk menentukan mana yang didahulukan antara gugatan wanprestasi atau permohonan pailit, perlu dipahami terlebih dahulu bunyi Pasal 27 jo. Pasal 29 UUKPKPU yang berbunyi:

 

Pasal 27 UUKPKPU

Selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap Debitor Pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.

 

Pasal 29 UUKPKPU

Suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor.

Sehingga dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan, segala gugatan dan/atau tuntutan hukum yang sedang berjalan terhadap debitor dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit gugur demi hukum setelah diucapkannya putusan pernyataan pailit.

Namun perlu digarisbawahi dalam hal putusan pernyataan pailit belum dijatuhkan, maka seluruh perkara yang sedang berjalan (wanprestasi dan kepailitan) dapat berproses secara bersamaan tanpa harus salah satu pihak menggabungkan diri.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

 

Referensi:

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2008.


[1] Pasal 1239 KUHPerdata

[2] Pasal 21 UUKPKPU

Tags: