Ahli Waris
Ketentuan mengenai waris Islam di Indonesia berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), di samping pedoman pokoknya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
klinik Terkait:
Pasal 171 huruf a KHI mengatur bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Sedangkan yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[1]
Syarat adanya hubungan darah dengan pewaris, untuk dapat dikualifikasikan sebagai ahli waris, dapat pula dipahami dari ketentuan dalam Al-Qur’an Surat (QS) an-Nisa’ ayat 11, yang terjemahannya berbunyi:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Uraian yang lebih sederhana dan sistematis, ahli waris karena hubungan darah, dapat dilihat dalam rumusan Pasal 174 ayat (1) huruf a KHI:
- golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
Selanjutnya, mengenai besarnya bagian masing-masing ahli waris diatur dalam Al-Qur’an Surat (Q.S) An-Nisa’ ayat 11 dan 12, serta Pasal 176 sampai dengan 182 KHI.
Sehubungan dengan pertanyaan Anda, maka dapat diketahui secara jelas dan tegas bahwa anak tiri tidak termasuk kualifikasi ahli waris.
berita Terkait:
Tindak Pidana Pemalsuan
Bagaimana apabila anak tiri tersebut dibuatkan akta kelahiran sebagai anak kandung (anak yang lahir dari perkawinan ibu dengan B, padahal sesungguhnya merupakan anak yang lahir dari perkawinannya dengan A)?
Dalam hal ini sebenarnya telah terjadi pelanggaran hukum berupa pemalsuan akta kelahiran, sehingga akta yang demikian batal demi hukum. Namun hal itu membutuhkan putusan pengadilan.
Pihak yang memalsukan dapat dikenai ancaman pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”) yang berbunyi:
Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp50 juta.
Selain itu, pelaku juga dapat dikenai ancaman pidana dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyatakan:
- Barangsiapa menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
- Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Meskipun bisa jadi, perbuatan tersebut dahulu tujuannya untuk kepentingan si anak berkaitan dengan administrasi pendidikan dan lain sebagainya. Namun demikian, hal itu tetap tidak dapat dibenarkan. Setelah dewasa, seharusnya si anak diberitahu agar mengetahui asal-usul atau nasabnya.
Wasiat Wajibah untuk Anak Tiri
Kemudian menjawab pertanyaan Anda, mungkinkah anak tiri tersebut mendapatkan wasiat wajibah? Secara umum, pengertian wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.[2]
Meski demikian, Pasal 209 KHI membatasi pemberian wasiat wajibah hanya pada anak angkat dan orang tua angkat, yang selengkapnya berbunyi:
- Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
- Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Dalam perkembangannya, terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung (“MA”) yang memberikan wasiat wajibah di luar anak dan orang tua angkat, yaitu diberikan kepada ahli waris yang beragama non-Islam sebagaimana disarikan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, di antaranya Putusan MA Nomor 368 K/Ag/1995, Putusan MA Nomor 51 K/Ag/1999 dan Putusan MA Nomor 16 K/Ag/2010. Tentu terdapat beberapa alasan (ratio decidendi) terkait dengan penjatuhan putusan tersebut.
Adapun mengenai upaya untuk mendapatkan wasiat wajibah bagi anak tiri ke Pengadilan pernah juga diupayakan dalam Putusan Pengadilan Agama Sengeti Nomor 192/Pdt.G/2015/PA.Sgt. Hakim mengabulkan permohonan tersebut dengan memberikan wasiat wajibah kepada kepada anak tiri sebanyak 1/3, dengan pertimbangan dari sisi kekerabatan, memiliki kedekatan dengan ibu tirinya dan secara sosiologis dapat menjaga hubungan baik sesama kerabat dan ahli waris yang ditinggalkan (hal. 156 – 157, dan 160).
Namun pada tingkat Banding melalui Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jambi Nomor 03/Pdt.G/2016/PTA.Jb membatalkan wasiat wajibah terhadap anak tiri dengan pertimbangan bahwa anak tiri tidak mempunyai hubungan dengan pewaris, baik dari hubungan darah maupun hubungan perkawinan (hal. 8).
Pada tingkat Kasasi melalui Putusan MA Nomor 733K/Ag/2016 menyatakan bahwa para penggugat kurang jeli dalam menyusun gugatannya karena melibatkan anak tiri yang bukan ahli waris atau pihak yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan dengan perkara ini, sehingga membatalkan putusan di tingkat banding sebelumnya (hal. 27).
Selanjutnya, melalui Putusan MA Nomor 13 PK/Ag/2018, putusan di tingkat kasasi dibatalkan dan sekaligus melalui putusan ini dapat diketahui, anak tiri tidak berhak mendapatkan wasiat wajibah (hal. 9 - 12).
Jadi menurut hemat kami, apabila D (anak tiri) bersikukuh mengajukan gugatan warisan ataupun permohonan wasiat wajibah, maka pada saat yang bersamaan bisa saja diajukan pembatalan akta kelahiran ke Pengadilan, dengan alasan akta cacat hukum karena proses pembuatannya didasarkan pada keterangan yang tidak benar dan tidak sah.[3] Namun, sebaiknya persoalan seperti ini diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu.
Baca juga: Syarat-syarat Pengadopsian Anak
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/Ag/2018.
Referensi:
- Abdul Manan. Beberapa Masalah Hukum tentang Wasiat dan Permasalahannya dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama. Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998;
- Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000;
- Yurisprudensi Mahkamah Agung, diakses pada 17 September 2021 pukul 13.00 WIB.
[1] Pasal 171 huruf c KHI
[2] Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 462 dan Abdul Manan. Beberapa Masalah Hukum tentang Wasiat dan Permasalahannya dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama. Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998, hal. 23
[3] Pasal 72 ayat (1) dan penjelasannya UU 23/2006