Ada seorang WNA yang menjalani masa tahanan pidana. Di awal sebelum ditahan di lapas untuk masa penyidikan, ia lebih dulu ditahan di ruang detensi oleh pihak imigrasi selama seminggu. Pertanyaannya, masa tahanannya dihitung sejak kapan? Sejak awal dia ditangkap dan ditahan di ruang detensi atau sejak ditahan di lapas yang dalam Berita Acara tertulis untuk keperluan penyidikan? Padahal investigasi tentu saja sudah dimulai sejak dia ditahan di ruang detensi. Mohon penjelasannya sesuai regulasi bagaimana? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Kewenangan penangkapan dan penahanan ada di tangan penyidik yang dapat merupakan pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang–undang untuk melakukan penyidikan, yang dalam hal keimigrasian dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) Keimigrasian.
Lalu bagaimana penghitungan masa penahanan Warga Negara Asing (WNA) di ruang detensi oleh PPNS Keimigrasian?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul WNA Ditahan di Ruang Detensi, Bisakah Dihitung sebagai Masa Penahanan Pidana? yang dibuat oleh Novie Ardhiyani, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 15 September 2021.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelumnya, kami jelaskan terlebih dahulu bahwa bagi Warga Negara Asing (“WNA”) yang berada di wilayah Indonesia maka diberlakukan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut mengacu pada prinsip teritorialitas yaitu prinsip yang menganggap hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP atau Pasal 4 huruf a UU 1/2023.
Penangkapan dan Penahanan
Penangkapan ataupun penahanan adalah kewenangan yang dimiliki oleh penyidik,[1] yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang–undang untuk melakukan penyidikan.[2] Berdasarkan definisi tersebut jelaslah bahwa tugas penyidik adalah untuk melakukan penyidikan.
Sementara penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[3]
Berdasarkan pertanyaan Anda, disebutkan bahwa penahanan dilakukan di ruang detensi, dan yang ditahan adalah WNA. Jika tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana keimigrasian, maka penyidik dalam perkara tersebut adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian (“PPNS Keimigrasian”) yaitu pejabat imigrasi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian.[4] Sebagai penyidik, PPNS Keimigrasian diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penahanan.
Perlu kami jelaskan juga bahwa syarat dari kewenangan untuk melakukan penahanan tersebut terdiri dari syarat objektif dan subjektif. Syarat subjektif yaitu apabila pelaku diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, atau adanya kekhawatiran pelaku akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.[5]
Sedangkan syarat objektif yaitu apabila tindak kejahatan yang dilakukan pelaku tersebut diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau lebih, atau termasuk tindak pidana imigrasi dalam Pasal 1, 2, dan 4 UU Darurat 8/1955.[6] Adapun prosedur penangkapan dan penahanan harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang mengacu pada KUHAP.
Masih berkaitan dengan penangkapan dan penahanan, berikut dapat Anda baca ulasan tentang Hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana dalam proses penangkapan dan penahanan.
Selain itu, dalam praktik, dalam hal tersangka adalah WNA, penangkapan/penahanannya juga diberitahukan kepada pejabat kantor Kedutaan Besar negara asal pelaku. Sebagai catatan, ketentuan penangkapan dan penahanan tersebut di atas tidak berlaku bagi mereka yang mendapatkan hak imunitas (immunity right) dalam hukum internasional.
WNA Ditahan di Ruang Detensi, Bisakah Dihitung Masa Penahanan?
Menjawab pertanyaan Anda mengenai penghitungan masa penahanan dimulai sejak dilakukan penahanan oleh penyidik, penuntut umum, atau pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (1) KUHAP.
Dalam kasus yang Anda ceritakan, WNA tersebut sudah ditahan di ruang detensi imigrasi yang merupakan ruang/tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan administratif keimigrasian. Ruang detensi tersebut berada di Direktorat Jenderal Imigrasi atau Kantor Imigrasi.[7]
Maka dari itu, jika tindak pidana yang dilakukan oleh WNA adalah tindak pidana keimigrasian yang mana penahanan dilakukan oleh penyidik PPNS Keimigrasian, maka masa penahanannya dapat dihitung dari masa tahanan di ruang detensi dengan tetap memperhatikan ketentuan KUHAP, yakni paling lama 20 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 40 hari.[8]