Apakah hukum perusahaan Indonesia mengenal derivative action suit (gugatan derivatif)?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Gugatan derivatif dikenal dalam hukum di Indonesia dan diatur dalam UU PT. Gugatan derivatif adalah gugatan yang dapat diajukan kepada direksi atau dewan komisaris yang dianggap merugikan perusahaan atas nama pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Gugatan derivatif / derivative action yang dibuat oleh Si Pokroldan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 8 Juli 2002.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Apa itu Gugatan Derivatif?
Sebelumnya, perlu diketahui pengertian hak derivatif terlebih dahulu. Menurut Freddy Harris dan Teddy Anggoro dalam bukunya yang berjudul Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi menjelaskan hak derivatif pada dasarnya merupakan pengakuan atas perlindungan pemegang saham dari kesalahan manajemen korporasi.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan juga oleh Rachmadi Usman dalam bukunya yang berjudul Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas yang menjelaskan hak derivatif adalah hak yang diberikan atau dimiliki oleh pemegang saham minoritas agar dapat melakukan tindakan tertentu dalam menjaga atau mewakili perseroan terhadap tindakan organ lainnya dalam perseroan terbatas (“PT”) bila kepentingan PT dirugikan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka gugatan derivatif dapat dikatakan sebagai suatu gugatan dari pemegang saham minoritas karena suatu tindakan tertentu.
Seperti yang telah disampaikan penulis sebelumnya, konsep hak derivatif diatur pertama kali pertama kali dalam hukum perseroan di Indonesia pada UU 1/1995 yang kemudian konsep tersebut diatur kembali dalam UU PT di mana Pasal 97 ayat (6) UU PT mengatur atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 97 ayat (6) UU PT disebutkan dalam hal terdapat tindakan direksi yang merugikan perseroan, pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan pada pasal tersebut di atas dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap direksi melalui pengadilan.
Sementara itu, Pasal 114 ayat (6) UU PT menyatakan atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota dewan komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan ke pengadilan negeri.
Karakteristik Gugatan Derivatif
Ketika pemegang saham minoritas mengajukan gugatan derivatif, perlu dipahami bahwa gugatan tersebut tidak dilakukan untuk mewakili dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas nama perseroan.
Sehingga pada saat gugatan derivatif diajukan, pemulihan atau ganti rugi akan dibayarkan kepada perseroan, sedangkan pemegang saham hanya menerima manfaat dalam bentuk meningkatnya harga saham.[1]
Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, karakteristik khusus gugatan derivatif sebagai berikut:
Sebelum dilakukan gugatan, sejauh mungkin dimintakan pihak yang berwenang (direksi) untuk melakukan gugatan untuk dan atas nama perseroan sesuai ketentuan dalam anggaran dasarnya.
Pihak pemegang saham lain dapat dimintakan juga partisipasinya dalam gugatan derivatif ini, mengingat gugatan tersebut juga untuk kepentingannya.
Perlu diperhatikan kepentingan pemegang saham yang lain, pihak pekerja, dan kreditor.
Tindakan penolakan gugatan derivatif berdasarkan alasan ne bis in idem tidak boleh merugikan kepentingan pihak stake holder yang lain.
Harus dibatasi bahkan dilarang penerimaan manfaat oleh pemegang saham yang ikut terlibat dalam tindakan merugikan perseroan, yakni manfaat dari ganti rugi yang diberikan terhadap gugatan derivatif tersebut.
Seluruh manfaat yang diperoleh dari gugatan derivatif menjadi milik perseroan.
Sebagai konsekuensinya, maka seluruh biaya yang diperlukan dalam gugatan derivatif harus ditanggung oleh pihak perseroan.
Perbedaan Gugatan Derivatif dan Gugatan Langsung
Sebagai informasi tambahan, berdasarkan UU PT, setidak-tidaknya dikenal 2 gugatan pemegang saham, yakni:
Gugatan derivatif yang diajukan oleh pemegang saham yang memiliki paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara.[2]
Gugatan langsung (direct action) yang diajukan setiap pemegang saham tanpa batasan minimal jumlah saham yang dimiliki.[3]
Perbedaannya terletak pada untuk kepentingan siapa gugatan itu diajukan. Dalam gugatan derivatif, gugatan yang diajukan tidak untuk mewakili pihak penggugat sendiri, melainkan juga untuk kepentingan perseroan dan pemegang saham lain. Sedangkan dalam gugatan langsung diajukan oleh pemegang saham atas dasar kerugian langsung yang diderita oleh pemegang saham yang bersangkutan,[4] sehingga dalam hal ini pemegang saham bertindak mewakili kepentingannya sendiri.
Penjelasan Pasal 61 ayat (1) UU PT pun menerangkan gugatan langsung memuat permohonan agar perseroan menghentikan tindakan yang merugikan dan mengambil langkah tertentu, baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari.
Dikarenakan gugatan langsung tidak ada persyaratan kepemilikan minimal jumlah saham, maka ganti rugi akan dibayarkan kepada pemegang saham selaku penggugat jika ia memenangkan gugatan. Sedangkan dalam gugatan derivatif, ganti rugi akan dibayarkan kepada perseroan.