Di dalam UU No. 1/1974 (UU Perkawinan) pasal 34 (1) dan (2) disebutkan bahwa "suami wajib memberi nafkah kepada istri dan istri wajib mengurus rumah tangga". Akan tetapi hal ini mengakibatkan adanya bias gender terutama di dalam hal "pengupahan" oleh karena adanya komponen tunjangan keluarga, maka upah laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan, oleh karena sebagai kepala keluarga. Memang laki-laki sebagai kepala keluarga membutuhkan penghasilan lebih. Yang ingin saya tanyakan, mengapa seorang perempuan meskipun ia sudah menikah dan mempunyai tanggungan (anak dan keluarga) tetapi ia selalu dianggap lajang. Dan perempuan juga tidak mendapatkan tunjangan-tunjangan hidup dalam pekerjaannya layaknya laki-laki, padahal seorang perempuan juga berhak untuk mendapatkan penghasilan dan tunjangan-tunjangan sebagaimana yang didapatkan oleh para laki-laki. Bagaimana hal ini menurut anda?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Memang berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) suami diwajibkan untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Pasal 34 ayat (1) UUP juga pernah dikritik oleh aktivis perempuan dari LBH Apik Nursjahbani Katjasungkana pada 2000 silam. Sebagaimana kami kutip dari artikel hukumonlineUU Perkawinan Dinilai Ambivalen dan Diskriminatif, Nursyahbani menilai pembentukan UU Perkawinan sangat ambivalen dan bias gender dalam menentukan kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Lebih lanjut ditulis bahwa:
Ambivalensi itu di satu pihak menyatakan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan dalam masyarakat. Namun di lain pihak, menentukan dengan sangat kaku peran masing-masing, suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Peran ini ditegaskan pula dalam Pasal 34 (1) di mana dikatakan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isteri dan isteri wajib mengurus rumah tangga. Nursjahbani melihat, akibat lebih jauh dari ketentuan ini adalah pada bidang pengupahan. Upah pekerja laki-laki lebih banyak dari upah perempuan karena adanya komponen tunjangan keluarga. Sementara perempuan selalu dianggap lajang meskipun secara de facto dia menikah dan mempunyai anak.
Menurut hemat kami, ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUP tersebut tidak ada hubungannya dan kurang tepat jika dihubung-hubungkan dengan pemberian upah terhadap laki-laki dan perempuan sebagai buruh/pekerja. Ketentuan tersebut berlaku terkait dengan hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga dalam ranah hukum perkawinan. Sedangkan, masalah upah buruh/pekerja diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”).
Pada dasarnya dalam hukum ketenagakerjaan berlaku prinsip/asas non-diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi ini juga ditegaskan dalam Pasal 6 UUK bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Lebih jauh dalam Penjelasan Pasal 6 UUK dinyatakan, Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Bahkan sejak 1981, jika kita melihat pada pengaturan dalam Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah(“PP 8/1981”), ditegaskan bahwa Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lihat PenjelasanPasal 3 PP 8/1981).
Mengutip tulisan Prof. Sulistyowati Irianto, salah seorang pengajar di Universitas Indonesia dalam bukunya Perempuan dan Hukum (hal. 457) memang menyebutkan adanya diskriminasi terhadap pekerja laki-laki dan perempuan dalam hal upah di masa lalu, yakni dalam:
-PP No. 37 Tahun 1967 - sistem pengupahan bagi tenaga kerja di perusahaan menyatakan bahwa istri dan anak-anak diakui sebagai tanggungan tenaga kerja laki-laki. Oleh sebab itu, tenaga kerja perempuan yang menikah dianggap lajang sedangkan suami dianggap sebagai tanggungan.
-Permen No. 2/P/M/Mining Tahun 1971 menyatakan bahwa seluruh perempuan menikah yang bekerja di perusahaan pertambangan negara dan perusahaan pertambangan asing diakui sebagai lajang dan seluruh penghasilan akan diberikan kepada mereka dan bukan kepada keluarganya. Perempuan menikah akan dianggap sebagai pencari nafkah utama hanya bila dinyatakan sebagai janda atau jika suaminya tidak mampu untuk bekerja.
Namun, berdasarkan asas lex posterior derogate legi priori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama), kedua ketentuan tersebut tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan ketentuan mengenai pengupahan yang baru yakni PP 8/1981 dan UUK.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan dan ketentuan-ketentuan tersebut di atas seorang perempuan meskipun ia sudah menikah dan ditanggung oleh suaminya, tetap berhak atas upah maupun tunjangan seperti halnya pekerja laki-laki.