KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perjanjian Eksklusif BUMN dengan Anak Perusahaan

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Perjanjian Eksklusif BUMN dengan Anak Perusahaan

Perjanjian Eksklusif BUMN dengan Anak Perusahaan
HMBC Rikrik Rizkiyana, S.H.Ikatan Kekeluargaan Advokat UI (IKA Advokat UI)
Ikatan Kekeluargaan Advokat UI (IKA Advokat UI)
Bacaan 10 Menit
Perjanjian Eksklusif BUMN dengan Anak Perusahaan

PERTANYAAN

Sebuah BUMN memiliki saham (minoritas) pada sebuah perusahaan Joint Venture dengan pihak asing yang memproduksi bahan pendukung untuk produksi BUMN tersebut. Pertanyaan: Apakah ada pengecualian untuk perusahaan joint venture tersebut terhadap UU No. 5 Tahun 1999 apabila perusahaan joint venture tersebut bermaksud secara eksklusif mensuplai 90% kebutuhan bahan pendukung produksi BUMN selama jangka waktu joint venture tersebut berdiri?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Dari pertanyaan Saudara, kami memandang bahwa kasus tersebut terkait dengan masalah perjanjian vertikal yang bersifat eksklusif (walaupun tidak 100%). Untuk menentukan apakah suatu perjanjian vertikal dapat melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”), maka perlu diperiksa atau dikaji lebih jauh hal-hal sebagai berikut:

     

    1.      Apakah pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut memiliki posisi dominan di pasar dimana pelaku usaha tersebut beroperasi atau menjalankan usahanya?

     

    Suatu perjanjian vertikal yang bersifat menghambat atau membatasi persaingan, hanya akan dianggap memiliki dampak antipersaingan, dan karena itu dapat melanggar UU 5/1999, apabila perjanjian tersebut:

    a.      melibatkan pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau memiliki kekuatan pasar yang signifikan; dan

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    b.      mengakibatkan terjadinya dampak penutupan pasar (foreclosure) atau penyingkiran pesaing (exclusionary) atau dampak merugikan (exploitative) secara tidak wajar dan substansial.

    Adapun alasannya adalah karena apabila pelaku usaha yang dominan yang melakukannya maka dampaknya akan signifikan dan tekanan persaingan yang ada di pasar tidak akan cukup mampu atau tidak akan efektif untuk menghambat dampak antipersaingan dari praktek antipersaingan tersebut.

     

    Sementara itu, apabila dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak dominan, maka perjanjian yang sifatnya antipersaingan tidak akan mempunyai dampak yang signifikan terhadap pasar karena persaingan atau pesaing yang ada di dalam pasar bersangkutan akan mampu menghambat atau mengurangi dampak antipersaingan dari praktek tersebut.

     

    2.      Apakah perjanjian yang sifatnya membatasi persaingan tersebut menghasilkan efisiensi yang cukup signifikan yang melebihi dampak antipersaingan yang ditimbulkan?

     

    Dalam hal ini, perjanjian vertikal yang dilakukan oleh atau melibatkan pelaku usaha yang dominan dapat dianggap tidak melanggar UU 5/1999, apabila dapat dibuktikan bahwa:

    a.      praktek tersebut sangat diperlukan untuk mencapai suatu tujuan efisiensi (dalam arti, tidak ada cara lain yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama); dan

    b.      efisiensi yang dihasilkan melebihi dampak antipersaingan yang ditimbulkan dari praktek tersebut.

     

    3.      Apakah pembatasan terhadap persaingan yang ditimbulkan dari praktek tersebut melebihi dari yang dibutuhkan (more than necessary)?

     

    Apabila untuk mencapai efisiensi yang diharapkan, mau tak mau persaingan harus dibatasi, maka praktek yang membatasi persaingan tersebut seharusnya tidak dianggap melanggar UU 5/1999. Namun, perlu diperhatikan mengenai jangka waktu dari perjanjian tersebut dan ketersediaan alternatif atau cara lain yang dampak antipersaingannya lebih kecil.

     

    Karena perjanjian antara BUMN dengan afiliasinya adalah perjanjian vertikal berupa perjanjian pemasokan bahan baku dan bukan perjanjian horisontal atau perjanjian antarpesaing, maka ketentuan tentang kartel tidak berlaku dan perlu dilakukan analisis dampak antipersaingan dari perjanjian tersebut.

     

    Berdasarkan kerangka analisis di atas, maka untuk menentukan apakah perjanjian eksklusif tersebut dapat melanggar UU 5/1999, harus diteliti terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

     

    a.      Apakah BUMN dan joint venture tersebut memiliki posisi dominan di pasar pembelian dan penjualan bahan baku tersebut. Indikator yang paling awal untuk menentukan adanya posisi dominan adalah penguasaan pangsa pasar BUMN tersebut, apakah mencapai atau lebih dari 50 persen.

     

    Berdasarkan ketentuan Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 25 UU 5/1999, suatu pelaku usaha akan dianggap atau disimpulkan memiliki posisi dominan atau memiliki kekuatan monopoli apabila memiliki pangsa pasar yang mencapai atau lebih dari 50 persen (dengan asumsi pasar bersangkutan didefinisikan secara tepat). Penguasaan pangsa pasar yang lebih dari 50 persen merupakan indikasi kuat bahwa BUMN tersebut memiliki posisi yang dominan. Apabila pangsa pasar dari BUMN tersebut relatif kecil atau kurang dari 50 persen maka perjanjian tersebut tidak akan memiliki dampak antipersaingan.

     

    b.      Apabila BUMN adalah pelaku usaha dominan, maka harus dilihat apakah perjanjian tersebut mendatangkan efisiensi yang cukup besar bagi BUMN tersebut, misalnya dalam bentuk biaya transaksi yang lebih murah, harga beli yang lebih murah, jaminan pasokan bahan baku, atau kualitas bahan baku yang lebih baik dan terjamin. Dengan adanya efisiensi tersebut maka diharapkan kegiatan produksi BUMN akan berjalan lebih baik dan menghasilkan barang yang lebih baik dalam kualitas dan biaya produksi yang lebih murah sehingga akan menguntungkan konsumen.

     

    Jika kondisi ini tercapai, dan di sisi lain, tidak menimbulkan dampak antipersaingan sebagaimana disebutkan di atas, maka perjanjian eksklusif tersebut bukan merupakan pelanggaran terhadap UU 5/1999. Namun, apabila perjanjian eksklusif tersebut tidak memberikan dampak efisiensi bagi kegiatan produksi BUMN tersebut, atau malah menyebabkan peningkatan biaya produksi karena harga beli yang lebih mahal, atau kualitas bahan baku yang lebih jelek, maka ini akan menjadi dasar bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) untuk menyatakan bahwa perjanjian tersebut sebagai praktek antipersaingan yang berpotensi melanggar UU 5/1999, misalnya melanggar Pasal 14 tentang integrasi vertikal.

     

    Pasal 14 huruf d UU 5/1999 mengatur sebagai berikut:

     

    “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang ada atau jasa tertentu dimana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahana atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat.”

     

    Sebagai referensi terkait dengan kasus yang melibatkan perjanjian eksklusif, lihat Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2003 tentang perjanjian eksklusif antara PT Garuda Indonesia dan PT Abacus Indonesia, yang merupakan anak perusahaan PT Garuda Indonesia.

     

    c.        Dalam hal BUMN tersebut dominan, tetapi perjanjian tersebut menghasilkan efisiensi yang cukup besar, maka perlu diteliti pula apakah masih ada alternatif lain untuk mencapai efisiensi tersebut yang dampak antipersaingannya lebih kecil. Perlu ditanyakan apakah perjanjian eksklusif satu-satunya solusi? Apakah mekanisme pengadaan dengan membuka persaingan yang seluas-luasnya bagi para pemasok bahan baku tidak mungkin atau memberikan tingkat efisiensi yang lebih besar? Ini harus dipastikan terlebih dahulu sebelum memutuskan membuat perjanjian eksklusif atau tidak dengan perusahaan Joint Venture tersebut.

     

    Mengenai kemungkinan pengecualian, berdasarkan ketentuan Pasal 50 dan selanjutnya Pasal 51 UU 5/1999, dimungkinkan adanya pengecualian terhadap pelarangan-pelarangan di dalam undang-undang tersebut, apabila syarat-syarat berikut ini terpenuhi:

     
    Pasal 50 UU 5/1999 menyatakan:

    a.      perbuatan dan atau perrjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau

    b.      perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau

    c.      perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau

    d.      perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau

    e.      perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau

    f.       perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau

    g.      perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau

    h.      pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau

    i.        kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.”

     
    Pasal 51

    “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.”

     

    Penjelasan mengenai pengecualian tersebut di atas dapat dilihat di dalam Pedoman-Pedoman Pasal yang dikeluarkan oleh KPPU, seperti Pedoman Pasal 50 huruf a, Pedoman Pasal 50 huruf b, Pedoman Pasal 50 huruf d, dan Pedoman Pasal 51. Pedoman-pedoman tersebut dapat diakses melalui situs KPPU, www.kppu.go.id.

     
    Demikian penjelasan kami. Semoga dapat memberikan manfaat.
     
    Dasar hukum:

    Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!