Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Status Anak yang Lahir dari Pasangan Kumpul Kebo

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Status Anak yang Lahir dari Pasangan Kumpul Kebo

Status Anak yang Lahir dari Pasangan Kumpul Kebo
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Status Anak yang Lahir dari Pasangan Kumpul Kebo

PERTANYAAN

1) Tolong kasih penjelasan soal aturan yang mengatur tentang hak perwalian anak setelah terjadi perceraian? 2) Bagaimana hukumnya bagi anak yang lahir dari hasil kumpul kebo, yang kedua-duanya sama-sama belum menikah? 3) Apa hukumnya bagi laki-laki yang sudah beristri lalu menikah lagi dengan jalan menikah siri (menikah di bawah tangan)?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perwalian Anak yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 05 Mei 2010.

     

    Intisari:

     

     

    Bila terjadi perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka Pengadilan yang akan memutuskan hak asuh berada pada ibu atau bapak. Namun, pada umumnya pengadilan memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu.

     

    Anak-anak yang dilahirkan dari hasil “kumpul kebo” adalah anak-anak luar kawin. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    1.    Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), bila terjadi perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka Pengadilan yang akan memutuskan hak asuh berada pada ibu atau bapak.[1]

     

    Berikut selengkapnya bunyi Pasal 41 UU Perkawinan:

     

    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

    a.    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

    b.    Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

    c.    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

     

    Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Hak Asuh Anak Dalam Perceraian, Pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu. Dasarnya, Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Dan didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa anak di bawah asuhan ibunya. Jika anak sudah bisa memilih, ia dipersilahkan memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

     

    Ditinjau dari Hukum Islam menurut KHI, dalam hal terjadi perceraian:[2]

    a.    pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

    b.    pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

    c.    biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

     

    2.    Menurut hukum Indonesia, anak-anak yang dilahirkan dari hasil “kumpul kebo” adalah anak-anak luar kawin. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.[3]

     

    3.    Perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum Indonesia apabila tidak dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:

     

    Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan:

    Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

     

    Pasal 4 UU Perkawinan:

    (1)  Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

    (2)  Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

    a.    isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

    b.    isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

    c.    isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

     

    Selain itu, untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk beristeri lebih dari seorang, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[4]

    a.    adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

    b.    adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

    c.    adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    2.    Kompilasi Hukum Islam.

     

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.

     



    [1] Pasal 41 huruf a UU Perkawinan

    [2] Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

    [3] Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012

    [4] Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan

    Tags

    hukumonline
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!