KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Terpaksa Menikah Karena Si Wanita Mengancam Bunuh Diri

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Terpaksa Menikah Karena Si Wanita Mengancam Bunuh Diri

Terpaksa Menikah Karena Si Wanita Mengancam  Bunuh Diri
Kartika Febryanti dan Diana KusumasariSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Terpaksa Menikah Karena Si Wanita Mengancam  Bunuh Diri

PERTANYAAN

Terjadi pernikahan karena terpaksa. Dalam hal ini si wanita selalu mengancam bunuh diri dan dengan segala akal, termasuk menggunakan isu agama. Setelah dijalani terjadi cekcok terus karena karakter sangat berbeda. Apakah pernikahan ini dapat dibatalkan? Dan jika bisa bagaimana delik aduannya? Terima kasih.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

     

    1.      Mengenai perkawinan yang terjadi karena adanya paksaan/terpaksa, pernah kami jabarkan sebelumnya dalam artikel klinik berjudul Menikah Karena Paksaan Orang Tua. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), sebagai syarat dilangsungkannya perkawinan, salah satunya adalah bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Lebih jauh, di dalam penjelasan Pasal 6 UU Perkawinan diuraikan bahwa:

     

    KLINIK TERKAIT

    Benarkah Pernikahan Katolik Tidak Bisa Cerai?

    Benarkah Pernikahan Katolik Tidak Bisa Cerai?

    “Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.”

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Terhadap suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan tersebut, maka terhadap perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalannya (lihat Pasal 22 UU Perkawinan jo Pasal 71 huruf f Kompilasi Hukum Islam).

     

    Menyarikan penjelasan dalam Makalah Peradilan Agama yang disampaikan oleh Habiburrahman pada Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia pada September 2011 lalu, dikatakan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, dalam hal calon mempelai belum berusia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, kecuali bila salah seorang telah meninggal dunia atau cacat kehendak, maka izin cukup dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendak (lihat Pasal 6 ayat [1], [2], dan [3] UU Perkawinan). Pula disebutkan bahwa dalam ketentuan tersebut di atas mengandung 2 (dua) asas hukum, yaitu:

    (1).      Asas suka sama suka, dan

    (2).      Asas partisipasi keluarga (dengan izin orang tua, ed).

    (Judul Makalah: Permasalahan Hukum Perkawinan Dalam Praktik Pengadilan Agama; ditulis dalam rangka Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia).

     

    Tidak hanya itu, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan dan penjelasannya bahwa persetujuan kedua calon mempelai ini kemudian harus dimuat dalam akta perkawinan yang menyatakan secara tertulis bahwa perkawinan tersebut adalah atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan.

     

    Dalam hal  terjadi perkawinan yang dilakukan tidak atas persetujuan kedua calon mempelai (tapi atas dasar paksaan), maka terhadap perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalannya. Termasuk dalam hal perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (Pasal 27 ayat [1] UU Perkawinan).  Suami menjadi salah satu pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan (lihat Pasal 23 huruf a UU Perkawinan).

     

    Jadi, memang terhadap pernikahan yang dilakukan atas dasar paksaan maupun ancaman, dapat diajukan permohonan pembatalan. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam hal perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum (dalam hal ini si perempuan mengancam bunuh diri untuk memaksa seorang laki-laki menikahinya sehingga tidak memenuhi syarat persetujuan calon mempelai atau asas suka sama suka), maka permohonan pembatalan perkawinan hanya dapat diajukan oleh suami atau isteri dalam jangka waktu 6 (enam) bulan. Jika suami atau isteri tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan dalam jangka waktu tersebut, maka haknya menjadi gugur. Di bawah ancaman, jelas persetujuan diberikan bukan didasarkan pada asas suka sama suka.

     

    2.      Mengenai delik aduan, perlu kami luruskan bahwa istilah delik aduan hanya digunakan dalam sistem hukum pidana, dimana sesuai Pasal 1 angka 25 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Sehingga, dalam hukum perkawinan yang pada dasarnya menggunakan hukum acara perdata, digunakan istilah permohonan dan gugatan.

     

    Permohonan dan gugatan merupakan hal yang berbeda dimana, dijelaskan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek” (hal. 10) bahwa perbedaan antara gugatan dengan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa.

     

    Pengajuan pembatalan perkawinan adalah termasuk “permohonan” dimana Perkawinan yang telah terjadi tidak memenuhi syarat perkawinan yang antara lain adalah harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.

     

    Jika upaya pembatalan perkawinan sebagaimana telah dijelaskan pada poin 1 di atas tidak dapat ditempuh dikarenakan telah lewatnya batas waktu pengajuan permohonan pembatalan perkawinan, mekanisme lain yang tersedia adalah melalui gugatan perceraian. Yang dapat Anda simak lebih jauh dalam artikel Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat?

     

    Namun, untuk dapat mengajukan gugatan cerai, harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri (lihat Pasal 39 ayat [2] UU Perkawinan). Lebih jauh, simak alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian dalam artikel Bisakah Istri Memaksa Cerai Karena Tidak Suka Menikah?

     

    Perlu diingat kembali bahwa perkawinan adalah ikatan suci lahir dan bathin untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (lihat Pasal 1 UU Perkawinan). Oleh karena itu, apabila persoalan yang sedang dialami masih dapat dibicarakan dan diperbaiki, alangkah indah dan baiknya jika perkawinan tersebut tetap terjalin tanpa adanya kata perpisahan.

     

    Semoga bermanfaat. Terima kasih

     

    Dasar hukum:

    1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    2.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    3.      Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    4.      Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991);

     

    Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!