Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Status Hukum GAM dan Nota Kesepahamannya dengan Pemerintah Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Status Hukum GAM dan Nota Kesepahamannya dengan Pemerintah Indonesia

Status Hukum GAM dan Nota Kesepahamannya dengan Pemerintah Indonesia
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Status Hukum GAM dan Nota Kesepahamannya dengan Pemerintah Indonesia

PERTANYAAN

Saya mahasiswa hukum di salah satu universitas negeri, saya ingin tanyakan: 1. Apakah status Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu adalah belligerent? Kalau tidak, apakah status GAM itu? 2. Apa sajakah syarat-syarat sebagai suatu belligerent? 3. Apakah apabila GAM sebagai suatu belligerent, maka MoU antara RI dan GAM dianggap sebagai perjanjian internasional? Mohon penjelasan. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Insurgents dan belligerents memang dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional sepanjang memenuhi syarat tertentu. Namun, ketika insurgents telah mendapatkan pengakuan, maka insurgents menjadi belligerents yang harus memenuhi syarat, meliputi penguasaan terhadap wilayah tertentu dan memiliki organisasi kepemimpinan tertentu.

     

    Terkait nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (“GAM”), nota kesepahaman tersebut tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, karena Gerakan Aceh Merdeka bukanlah subjek hukum internasional.

     

    Lalu apakah GAM termasuk belligerents? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Subjek Hukum Internasional
    Malcolm N. Shaw dalam buku International Law menguraikan jenis-jenis subjek hukum internasional.
    Subjek hukum internasional, meliputi (hal. 197 – 260):
    1. Negara;
    2. Tahta Suci Vatikan;
    3. Insurgents dan belligerents;
    4. National liberation movements;
    5. International public companies;
    6. Transnational corporations;
    7. Individu;
    8. International Organizations.
    Secara khusus, kami akan menerangkan mengenai insurgents dan belligerents sebagaimana yang Anda tanyakan.
     
    Mengutip dari berbagai sumber, Malcolm N. Shaw menerangkan bahwa (hal. 245):
     
    International law has recognized that such entities may in certain circumstances, primarily dependent upon the de facto administration of specific territory, enter into valid arrangements. In addition, they will be bound by the rules of international law with respect to the conduct of hostilities and may in due course be recognized as governments. The traditional law is in process of modification as a result of the right to self-determination, and other legal principles such as territorial integrity, sovereign equality and non-intervention in addition to recognition will need to be taken into account.
     
    Peter Malanzcuk dalam buku Akehurst’s Modern Introduction to International Law kemudian menambahkan (hal. 104):
     
    Insurgents in a civil war have long been recognized in international law as subjects having certain rights and duties because they control some territory and might become the effective new government of the state.
     
    Maka, insurgents dan belligerents memang dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional sepanjang memenuhi syarat tertentu, seperti adanya penguasaan yang efektif terhadap suatu wilayah.
     
    Syarat untuk Dikategorikan Sebagai Insurgents dan Belligerents
    Andrew Clapham dalam International Review of the Red Cross berjudul Human Rights Obligations of Non-State Actors in Conflict Situations mengutip Antonio Cassese yang menjelaskan bahwa insurgents harus memenuhi syarat berikut untuk diakui (hal. 492):
     
    International law only establishes certain loose requirements for eligibility to become an international subject. In short, (1) rebels should prove that they have effective control over some part of the territory, and (2) civil commotion should reach a certain degree of intensity and duration (it may not simply consist of riots or sporadic and short-lived acts of violence). It is for states (both that against which the civil strife breaks out and other parties) to appraise – by granting or withholding, if only implicitly, recognition of insurgency – whether these requirements have been fulfilled.
     
    Mengutip Eibe H. Riedel, Andrew Clapham kemudian melanjutkan:
     
    With regard to an insurrectional group recognized as such by the relevant state, it is clear that there are certain international rights and obligations that flow from this status, depending on the terms of the recognition. Under this traditional international law, insurgents who were recognized by the state against which they were fighting not only as insurgents but also expressly as belligerents, became assimilated to a state actor with all the attendant rights and obligations which flow from the laws of international armed conflict. Today, these recognition regimes have been replaced by compulsory rules of international humanitarian law which apply when the fighting reaches certain thresholds.
     
    Jika merujuk pada uraian di atas, maka ketika insurgents telah diakui, maka insurgents menjadi belligerents, sehingga antara insurgents dan belligerents memang berbeda.
    Terlebih, kini tolok ukur untuk menimbang status belligerent merujuk pada Hukum Humaniter Internasional.
     
    Maka, kami merujuk pada Pasal 1 angka 1 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts 1977 yang berbunyi:
     
    This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions of application, shall apply to all armed conflicts which are not covered by Article 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed forces or other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol.
     
    Merujuk dari ketentuan di atas, untuk dikategorikan sebagai armed group atau dissident armed group, maka harus memiliki organisasi kepemimpinan tertentu dan memiliki penguasaan efektif terhadap wilayah tertentu, sehingga dapat melaksanakan operasi militer.
     
    Status Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
    Harus diketahui terlebih dahulu definisi dari perjanjian internasional. Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU 24/2000”) dinyatakan bahwa:
     
    Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik
     
    L. Tri Setyawanta R. dalam Jurnal Law Reform berjudul Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) RI-GAM dalam Perspektif Hukum menegaskan bahwa perjanjian internasional memang tidak terbatas pada negara saja, namun subjek hukum internasional secara umum (hal. 67).
     
    Menurutnya, dengan adanya nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dengan GAM, berarti pemerintah Indonesia, secara langsung maupun tidak langsung, mengakui GAM sebagai belligerent yang merupakan subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional (hal. 67).
     
    Secara teoretis, GAM dapat dikategorikan sebagai belligerents, karena telah memiliki organisasi yang terpimpin dan teratur, memiliki simbol atau tanda pengenal yang menunjukan identitas serta menguasai wilayah tertentu (hal. 68).
     
    Namun, unsur penguasaan wilayah ini tidak dapat dikatakan efektif dengan melihat bahwa anggota GAM kebanyakan bergerilya di hutan dan pemerintahan yang efektif masih dikendalikan oleh Indonesia di seluruh wilayah Aceh (hal. 68).
     
    Kriteria tersebut, meskipun telah terpenuhi, tetapi sebenarnya belum cukup untuk memberikan status belligerent kepada GAM, karena masih memerlukan pengakuan dari subjek hukum internasional, baik secara diam-diam atau secara tegas (hal. 68).
     
    GAM telah dianggap mendapatkan pengakuan secara diam-diam dari subjek hukum internasional lain, karena adanya keterlibatan pihak ketiga, baik dalam proses perundingan dan pelaksanaan nota kesepahaman, namun Indonesia sendiri tidak mengakui GAM sebagai belligerent (hal. 68 – 69).
     
    Hal lain yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa nota kesepahaman itu bukanlah perjanjian internasional adalah apakah Indonesia meratifikasi nota kesepahaman tersebut, karena jika dipandang sebagai perjanjian internasional, maka Indonesia akan meratifikasi nota kesepahaman tersebut (hal. 69).
     
    Mengenai ratifikasi ini diatur dalam Pasal 10 UU 24/2000 yang menerangkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
    1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
    2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
    3. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
    4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
    5. pembentukan kaidah hukum baru;
    6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
     
    Ketentuan pasal di atas telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada Pasal 10 huruf a sampai dengan huruf f UU 24/2000 itulah yang mempersyaratkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang (hal. 266).
     
    Dalam kesimpulannya, L. Tri Setyawanta R. menegaskan bahwa nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dengan GAM bukan merupakan perjanjian internasional, karena GAM bukan subjek hukum internasional (hal. 74).
     
    Selain itu, dalam artikel Bendera dan Lambang Aceh: Problem Hukum yang Tersisa, diterangkan bahwa dengan ditandatanganinya nota kesepahaman tersebut, maka GAM telah secara eksplisit mengakui status Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki karakteristik khusus dibanding daerah lain. GAM tidak lagi berstatus sebagai gerakan separatis atau gerakan yang dapat dipandang berkehendak untuk memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Lebih lanjut, dalam artikel Kesepakatan Damai RI-GAM Termasuk Perjanjian Internasional?, Prof. Mieke Komar Kantaatmadja berpendapat, sejak perundingan di Swiss tahun 2002, status GAM hanyalah sebagai insurgent. Ia juga menolak pendapat yang menganggap GAM sebagai belligerent, sehingga kesepakatan damai yang dirumuskan di Helsinki, Finlandia, tidak dapat digolongkan sebagai perjanjian internasional.
     
    Prof. Huala Adolf berbeda pendapat. Menurutnya, secara teoretis GAM sudah dapat dikategorikan sebagai belligerent. GAM telah mendapat pengakuan secara diam-diam dari kalangan internasional sebagai belligerent, misalnya dengan keterlibatan pihak ketiga yang memfasilitasi perundingan di Helsinki.
     
    Namun, berhubung pemerintah Indonesia tidak pernah menganggap isu GAM sebagai isu internasional, maka kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan GAM hanyalah dipandang sebagai perjanjian yang di-internasionalisasi-kan, menurut Prof. Huala Adolf.
     
    Menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, berdasarkan uraian di atas, status GAM saat ini bukan merupakan belligerent dan nota kesepahaman yang dimaksud pun bukan merupakan bentuk dari perjanjian internasional.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018.
     
    Referensi:
    1. Andrew Clapham. Human Rights Obligations of Non-State Actors in Conflict Situations. International Review of the Red Cross, vol. 88, no. 863, 2006;
    2. L. Tri Setyawanta R. Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) RI-GAM dalam Perspektif Hukum. Jurnal Law Reform, vol. 1 no. 1, 2005;
    3. Malcolm Shaw. International Law 6th Edition. New York: Cambridge University Press, 2008;
    4. Peter Malanzcuk. Modern Introduction to International Law. New York: Routledge, 1997.

    Tags

    hukumonline
    perdata

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!