KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukum Menikahi Wanita Hamil yang Ditinggal Pacarnya

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hukum Menikahi Wanita Hamil yang Ditinggal Pacarnya

Hukum Menikahi Wanita Hamil yang Ditinggal Pacarnya
Erickson Sagala, S.H. Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Hukum Menikahi Wanita Hamil yang Ditinggal Pacarnya

PERTANYAAN

Teman saya menikahi wanita hamil 2 bulan yang ditinggal pacarnya. Setelah bayi itu lahir mereka cerai. Pertanyaan saya: 1. Apakah teman saya masih berkewajiban memberikan nafkah kepada anak tersebut hingga dewasa? 2. Apakah anak tersebut punya hak waris atas teman saya karena pada akta kelahiran anak tersebut, nama ayah anak tersebut adalah teman saya. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Seperti Saudara jelaskan, teman Saudara telah menikahi seorang perempuan yang sedang mengandung 2 (dua) bulan. Kami menganggap bahwa pernikahan teman Saudara telah didaftarkan kepada Petugas Pencatatan Pernikahan baik itu di Kantor Urusan Agama (KUA) ataupun Catatan Sipil. Hal ini mengingat adanya Akta Kelahiran dari bayi tersebut atas nama teman Saudara sebagai ayahnya (orang tua).

    Sebelum kami menjawab pertanyaan Saudara, perlulah diketahui bahwa dilakukan atau tidak dilakukannya pencatatan atas pernikahan yang telah diadakan memiliki dampak yang berbeda satu dengan yang lainnya.
    Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) mengatur sebagai berikut :

    1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

    2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

    KLINIK TERKAIT

    Hukum Kawin Kontrak di Indonesia

    Hukum Kawin Kontrak di Indonesia

    Dengan dilakukan pencatatan terhadap perkawinan, maka dengan demikian ketentuan apapun mengenai perkawinan yang berlaku di Negara kita, secara otomatis berlaku terhadap perkawinan tesrebut. Dan sebaliknya, apabila tidak dilakukan pencatatan perkawinan, maka ketentuan perkawinan pun tidak berlaku terhadap perkawinan tersebut. Dengan kata lain, bagi Negara terhadap perkawinan yang belum dilakukan pencatatan tidak pernah dianggap telah melangsungkan perkawinan.

    Pencatatan perkawinan bukanlah syarat untuk dapat dikatakan bahwa perkawinan tersebut sah atau tidak, hanya saja merupakan pintu masuknya perlindungan hukum terhadap perkawinan (atau apapun dampaknya) yang sedang berlangsung.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Perlu kami sampaikan bahwa dengan adanya pencatatan perkawinan yang telah dilakukan oleh teman saudara maka sekalipun bukan ayah biologis dari anak tersebut, teman saudara memiliki kewajiban yang telah diatur dalam UUP.

    Sekalipun teman Saudara telah bercerai, seperti disampaikan di atas, bahwa dengan adanya pencatatan perkawinan maka ketentuan mengenai perkawinan pun berlaku. Pasal 41 UUP menegaskan sebagai berikut :

    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

    a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

    b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

    c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”

    Undang-undang telah mengatur bahwa kedua orang tua, khususnya teman Saudara, memiliki kewajiban untuk mengeluarkan biaya pemeliharaan hidup maupun pendidikan yang diperlukan anak tersebut sekalipun kedua orang tua telah bercerai.

    Lantas bagaimana dengan waris, apakah anak tersebut memiliki hak waris terhadap harta warisan milik teman Saudara? Mengenai hal ini Pasal 42 UUP menentukan sebagai berikut:

    Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

    Adapun yang dikategorikan sebagai anak sah adalah semua anak yang dilahirkan pada saat atau sebagai akibat dari perkawinan sah yang telah dilakukan oleh teman Saudara. Mengenai siapa saja yang berhak atas harta warisan, Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata menerangkan sebagai berikut :

    Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.”

    Dengan demikian, mengingat anak tersebut merupakan anak sah dari teman Saudara, maka anak tersebut berhak atas harta waris teman Saudara.

    Dasar hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);

    2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya

    21 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!