Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

minta nasehat tentang cerai

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

minta nasehat tentang cerai

minta nasehat tentang cerai
Aisyah Rj SiregarSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
minta nasehat tentang cerai

PERTANYAAN

Saya sudah menikah dengan istri selama 10 tahun lebih, dan dikarunia seorang anak umur delapan tahun.Kami berdua beragama Buddha dan mempunyai surat nikah resmi. Akhir-akhir ini intensitas berantem sering sekali dan setiap kali istri selalu minta cerai. Sebenarnya saya juga sudah capek dengan sifat dia yang egois dan keras kepala.Tapi saya berusaha mempertahankan hubungan ini dengan mempertimbangkan kepentingan si anak.Saya melihat perlakukan ibu yang sangat emosional kepada si anak.Seandainya benar terjadi perceraian, bagaimana prosesnya? Apa kewajiban saya dan bagaimana pula pembagian harta. Saya mempunyai sebuah rumah atas nama saya, yang dibeli setelah kami menikah. Dan juga sebuah mobil dengan atas nama istri. Masing-masing mempunyai tabungan pribadi. Bagaimana pembagian harta dan hak asuh atas anak tersebut. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dalam pasal 38 UUP disebutkan bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Apabila Bapak akan mengajukan gugatan cerai, maka pertama kali yang harus Bapak lakukan adalah mengajukan gugatan kepada Pengadilan (lihat pasal 40 ayat (1) UUP). Bagi pasangan yang melakukan perkawinan secara Islam, maka pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perceraian adalah Pengadilan Agama [pasal 1 angka 1 jo. pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama]. Oleh karena Bapak beragama Buddha, maka pengajuan gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman istri [pasal 118 ayat (1) HIR].

    Pada persidangan pertama, Pengadilan yang memeriksa gugatan cerai wajib mendamaikan kedua belah pihak [pasal 130 ayat (1) HIR]. Perceraian hanya dapat dilakukan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak [Pasal 39 ayat (1) UUP].

    Apabila perceraian telah terjadi, maka Bapak tetap diwajibkan untuk memelihara dan mendidik anak-anak [pasal 45 ayat (1) UUP). Selain itu juga Bapak mempunyai tanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Lalu, bagaimana kewajiban Bapak kepada istri? Pasal 39 huruf c UUP menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

    Mengenai pembagian harta, UUP menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama kecuali pada saat melaksanakan perkawinan terdapat perjanjian mengenai pemisahan harta [pasal 35 ayat (1) UUP]. Sayangnya Bapak tidak menjelaskan apakah saat akan melaksanakan perkawinan kedua belah pihak membuat perjanjian mengenai pisah harta. Perjanjian perkawinan dalam UUP diperbolehkan asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan [pasal 29 ayat (2) UUP]. Oleh karena itu, kami asumsikan tidak ada perjanjian pisah harta di antara bapak dan istri.

    Harta berupa rumah, mobil, dan tabungan yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan apabila terjadi suatu perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing [pasal 35 ayat (1) jo pasal 37 UUP]. Dalam penjelasan pasal 37 yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Oleh karena Bapak beragama Buddha, maka dalam pembagian harta bersama diatur dalam pasal 128 KUHPerdata. Ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa setelah bubarnya persatuan (perkawinan), kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa memperdulikan barang-barang tersebut diperoleh oleh siapa saat perkawinan.

    Mengenai hak asuh anak, pasal 41 UUP menyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat hukum terhadap anak tersebut adalah bahwa baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dan apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya. Oleh karena itu, pengasuhan anak dapat diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan. Biasanya untuk yang beragama Islam pengadilan memberikan hak asuh anak yang di bawah umur kepada ibu. Hal ini berdasarkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, di mana anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.

    Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat.

     

    Peraturan perundang-undangan terkait:

    1.      KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)

    2.      HIR (Het Herziene Indonesisch Reglemen, Staatblad Tahun 1941 No. 44)

    3.      UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    4.      UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

    5.   Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    25 Mar 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!