KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pengasuhan anak yang sesuai hukum

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Pengasuhan anak yang sesuai hukum

Pengasuhan anak yang sesuai hukum
Alfi Renata, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pengasuhan anak yang sesuai hukum

PERTANYAAN

Ada pasutri karena kondisi ekonominya tidak mampu membiayai persalinan atas bayinya termasuk kemungkinan untuk membiayai hidup si bayi. Biaya persalinan akhirnya ditanggung oleh tetangganya "A". Atas sepengetahuan dan "persetujuan" pasutri, bayi tersebut diambil oleh tetangganya tersebut untuk menjadi bagian dari tanggungannya. Tetapi kemudian tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada orang tua si bayi, oleh si A bayi tersebut diserahkan kepada saudaranya (sebut saja si “B”) untuk diasuh karena si B tidak punya anak. Kemudian A dan B mengupayakan suatu surat penyerahan bayi yang ditandatangani oleh Pasutri di atas materai. Untuk menguatkan status bayi tersebut, si B mengusahakan pembuatan akte kelahiran sebagai anak dari keluarga si B. Dari peristiwa tersebut, 1) sesungguhnya adakah masalah hukum yang mengandung unsur kejahatan? 2) Dan siapakah yang dapat dikenakan atas kejahatan tersebut? 3) Dan sebaiknya apa yang bisa dilakukan oleh B dalam rangka pengasuhan anak agar terhindar dari persoalan hukum? Atas pencerahannya saya mengucapkan terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    1.      Masalah hukum dari kasus di atas adalah pengangkatan anak yang melanggar hukum. Menurut pasal 39 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Pelanggaran terhadap pasal 39 ayat (2) merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta. 

    Penggelapan asal-usul anak juga dapat dijerat dengan pasal 277 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa dengan suatu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul seseorang, diancam karena penggelapan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Perbuatan mengurus akta kelahiran bayi yang bersangkutan di kantor catatan sipil setempat yang mengakibatkan asal usul bayi tersebut menjadi tidak jelas adalah tindak pidana. 

    Masalah hukum selanjutnya adalah adanya dugaan tindak pidana pemberian keterangan palsu dalam akta kelahiran bayi. Pasal 264 KUHP menyatakan “Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, jika penggunaannya dapat mendatangkan kerugian, dapat dihukum penjara maksimum tujuh tahun.” Pasal ini dapat dikenakan terhadap pihak-pihak yang memberikan keterangan palsu kepada Pegawai Catatan Sipil untuk dimasukkan ke dalam akta kelahiran bayi tersebut. Keterangan bahwa bayi tersebut adalah anak kandung B adalah keterangan palsu, karena B bukan orang tua kandung dari bayi tersebut. 

    2.      Yang menentukan siapa yang dapat dikenakan kejahatan ini adalah tergantung siapa yang melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut di atas (apakah B, atau B bersama-sama suaminya, apakah si B menyuruh orang lain, dan sebagainya) dan tindak pidana apa yang dapat dikenakan padanya, adalah tergantung dari penyidik, berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang diperoleh. 

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    3.      Mengenai apa yang harus dilakukan B agar terhindar dari permasalahan hukum adalah sebagai berikut. Pertama-tama kami sampaikan bahwa tanpa sepengetahuan orang tua, bayi tidak boleh diserahkan kepada B. Hal ini mengingat bayi tersebut diberikan oleh orang tua dengan maksud untuk diasuh oleh A. Kalaupun orang tua akhirnya menyetujui bayi diambil jadi anak oleh B, tetap harus melalui prosedur, yaitu dengan adopsi melalui putusan pengadilan.

    Oleh karena itu, yang harus dilakukan B adalah mengadopsi secara resmi bayi tersebut. Persyaratan dan tata cara pengangkatan anak dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Persyaratan yang harus dipenuhi mengenai anak yang akan diangkat dan calon orang tua angkat dapat dilihat pada Pasal 12 dan Pasal 13 PP No. 54 Tahun 2007. Untuk dapat mengadopsi secara resmi, B harus mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Negeri (atau Pengadilan Agama untuk penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam), untuk mendapat Penetapan Pengadilan mengenai pengangkatan anak terhadap bayi tersebut.

    Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:

    1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    2.      Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak

    3.      Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

     

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!