Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kedudukan Anak dalam Hukum

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Kedudukan Anak dalam Hukum

Kedudukan Anak dalam Hukum
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kedudukan Anak dalam Hukum

PERTANYAAN

Ada kasus penelantaran keluarga (ibu dan anak) oleh bapaknya. Bapak dan ibu tidak terikat pernikahan resmi maupun siri. 1) Dapatkah si Bapak dituntut dalam hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam konteks UU Perlindungan Anak dan UU KDRT? 2) Bagaimana posisi anak dalam hukum, apakah anak mempunyai hak sebagai anak seutuhnya dan bagaimana kekuatan hukum dari keterangan saksi korban di bawah umur (anak) kaitannya dengan hukum pidana? Bisakah keterangan tersebut dianggap sebagai pembuktian hukum? Hal ini mengingat banyaknya kasus kasus kekerasan terhadap anak dan pencabulan/pemerkosaan terhadap anak yang, menurut oknum penyelidik, saksi korban anak tidak dapat/atau "dianggap" sebagai salah satu alat bukti dalam prosedural hukum pidana. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 11 Juni 2010.

     

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Hak Waris Anak Zina, Begini Ketentuan Hukumnya

    Hak Waris Anak Zina, Begini Ketentuan Hukumnya

     

     

    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

     

    Status bapak dan ibu dari anak luar kawin itu tidaklah menikah baik secara siri maupun sah secara hukum negara. Jadi, jalan yang dapat ditempuh agar anak luar kawin tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya adalah dengan membuktikannya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau melakukan pengesahan anak dengan catatan pasangan tersebut melakukan pernikahan secara sah terlebih dahulu, baik menurut hukum agama dan hukum negara.

     

    Jika tidak, maka hubungan perdata antara anak dan ayahnya tidak ada. Si ayah juga tidak dapat dipersoalkan secara hukum dengan alasan melakukan “penelantaran keluarga” karena yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan si ibu dan anaknya.

     

    Kemudian mengenai anak sebagai saksi, anak yang umurnya masih di bawah 15 tahun tidak dapat didengar sebagai saksi. Anak-anak di bawah umur 15 tahun tersebut boleh didengar keterangannya dengan tidak disumpah, akan tetapi keterangan mereka itu tidak merupakan bukti kesaksian, melainkan hanya sebagai penerangan saja.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    1.    Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

     

    Apabila si ibu ingin suaminya mempunyai hubungan hukum perdata dengan anak yang berstatus anak luar kawin tersebut, ada dua jalan yang bisa ditempuh:

     

    a.    Pengakuan anak, yaitu pengakuan secara hukum dari seorang bapak terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut. Dengan catatan, pengakuan anak ini hanya berlaku jika Anda dan istri telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.[1]

     

    Caranya:[2]

    1)    Membuat Surat Pengakuan Anak.

    2)    Surat Pengakuan Anak tersebut disetujui oleh ibu kandung anak yang bersangkutan.

    3)    Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 hari sejak tanggal surat pengakuan anak oleh ayah.

    4)    Surat Pengakuan Anak tersebut kemudian dicatat oleh Pejabat Pencatatan Sipil pada Register Akta Pengakuan Anak dan diterbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.

     

    b.    Pengesahan anak, yaitu pengesahan status hukum seorang anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, menjadi anak sah sepasang suami istri. Dalam pengesahan anak kedua orangtua anak tersebut haruslah melakukan perkawinan secara sah terlebih dahulu, baik menurut hukum agama dan hukum negara.[3]

     

    Caranya:[4]

    1)    Pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.

    2)    Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak.

     

    Sayangnya berdasarkan keterangan Anda, status bapak dan ibu dari anak luar kawin itu tidaklah menikah baik secara siri maupun sah secara hukum negara. Jadi, jalan yang dapat ditempuh agar anak luar kawin tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya adalah dengan membuktikannya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau melakukan pengesahan anak dengan catatan pasangan tersebut melakukan pernikahan secara sah terlebih dahulu, baik menurut hukum agama dan hukum negara.

     

    Jika tidak, maka hubungan perdata antara anak dan ayahnya tidak ada. Si ayah juga tidak dapat dipersoalkan secara hukum dengan alasan melakukan “penelantaran keluarga” karena yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan si ibu dan anaknya.

     

    Pengertian “Keluarga”, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:

     

    Unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

     

    Demikian pula, perbuatan si Bapak tidak dapat dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga karena yang bersangkutan tidak masuk dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU 23/2004”):

     

    Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:

    a.    suami, isteri, dan anak;

    b.    orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

    c.    orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

     

    2.    Kami tidak mengerti maksud dari “mempunyai hak sebagai anak seutuhnya” dalam konteks pertanyaan Anda. Jika yang Anda maksud adalah hak-hak sebagai anak, jika anak tersebut belum mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka tidak ada hak sebagai anak dari laki-laki tersebut.

     

    Kemudian mengenai pertanyaan Anda selanjutnya terkait kekuatan hukum dari keterangan saksi korban di bawah umur, dalam hal anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, Pasal 55 UU 23/2004 menyatakan bahwa:

     

    Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

     

    Akan tetapi, perlu diingat bahwa menurut Pasal 145 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui/Het Herzienne Inlandsche Reglement (HIR), sebagai saksi tidak dapat didengar: 

    1.    Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lulus;

    2.    Istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;

    3.    Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya 15 tahun;

    4.    Orang, gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.

     

    Jadi, anak yang umurnya masih di bawah 15 tahun tidak dapat didengar sebagai saksi. Dalam penjelasan HIR disebutkan bahwa anak-anak di bawah umur 15 tahun tersebut boleh juga didengar keterangannya dengan tidak disumpah, akan tetapi keterangan mereka itu tidak merupakan bukti kesaksian, melainkan hanya sebagai penerangan saja. Hal ini diperkuat dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bahwa anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah.

     

    Jadi, seorang anak yang umurnya di bawah 15 tahun bisa diperiksa untuk diambil keterangannya, akan tetapi keterangan tersebut diambil tidak dengan sumpah dan tidak diperlakukan sebagai alat bukti keterangan saksi di pengadilan, melainkan hanya sebagai penerangan saja.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941;

    2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    4.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

    5.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

    6.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

     

     



    [1] Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”)

    [2] Pasal 49 UU 24/2013

    [3] Pasal 50 ayat (2) UU 24/2013

    [4] Pasal 50 UU 24/2013

    Tags

    hak anak
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja

    18 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!