KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pemberian Kredit kepada Debitur yang Pernah Macet, Tindak Pidanakah?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Pemberian Kredit kepada Debitur yang Pernah Macet, Tindak Pidanakah?

Pemberian Kredit kepada Debitur yang Pernah Macet, Tindak Pidanakah?
Shanti Rachmadsyah, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pemberian Kredit kepada Debitur yang Pernah Macet, Tindak Pidanakah?

PERTANYAAN

Saat ini Bank (BUMD) tempat saya bekerja sedang diperiksa kejaksaan karena dugaan penyimpangan pencairan kredit. Saat ini pembayaran angsuran kredit masih "lancar", namun kejaksaan berpendapat kredit diberikan secara tidak cermat dan melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Alasannya, kredit diberikan kepada perusahaan yang pemiliknya pernah menjadi Debitur Macet pada beberapa Bank termasuk Bank kami di masa lalu (saat ini sudah di-write off). Apakah benar riwayat macet tersebut bisa dijadikan alasan untuk mempidanakan pejabat bank maupun debitur, sedangkan unsur "kerugian keuangan negara" belum terjadi?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Menurut pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

     

    Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan selanjutnya mengatur bahwa dalam memberikan kredit, Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan selanjutnya mengatur bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

     

    Penjelasan pasal 8 UU Perbankan menyebutkan bahwa untuk memperoleh keyakinan atas itikad, kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur, yaitu si perusahaan penerima kredit tersebut.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Selanjutnya dalam pasal 8 ayat (2) UU Perbankan diatur bahwa Bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mencakup:

     

    1.      pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;

    2.      bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur;

    3.      kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

    4.      kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

    5.      larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi;

    6.      penyelesaian sengketa

     

    Jadi, perlu dilihat apakah dalam pemberian kredit tersebut telah ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan kebijaksanaan perkreditan tersebut. Apabila ternyata dalam pemeriksaan ditemukan bahwa dalam pemberian kredit prosedur yang ada tidak dilakukan dengan benar, maka pengurus bank tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Hal ini sesuai dengan pasal 49 ayat (2) UU Perbankan:

     

    Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:

    a)   meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarannya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi Batas kreditnya pada bank;

    b)   tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."

     

    Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU No. 1/2004) disebutkan bahwa Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

     

    Saat ini masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana menentukan kerugian keuangan negara. Pasal 1 angka 22 UU No. 1/2004 memang menyatakan bahwa kerugian negara harus memenuhi unsur-unsur “yang nyata dan pasti jumlahnya”, namun dalam praktik putusan-putusan hakim berbeda-beda mengenai pembuktian unsur-unsur tersebut. Perbedaan tersebut tercermin dalam dua putusan berikut:

     

    1.      Dalam putusan kasus korupsi pada Sisminbakum (Sistim Administrasi Badan Hukum) Kemenhukham dengan terdakwa Romli Atmasasmita, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pertimbangan mengakui angka pasti kerugian negara belum ada, tetapi majelis yakin ada kerugian negara dalam kasus Sisminbakum. Majelis hakim dapat menentukan kerugian negara, tandas majelis dalam pertimbangannya. Pengadilan tingkat pertama memvonis Romli dua tahun penjara.

     

    2.      Dalam putusan kasus korupsi pada Bank Mandiri dengan terdakwa tiga mantan direksi bank BUMN tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pertimbangan berpendapat secara substansi Bank Mandiri tidak mengalami kerugian sehingga negara juga tidak dirugikan. Pendapat majelis ini mengacu pada definisi kerugian negara dalam pasal 1 butir 22 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang benar-benar nyata. Kendati dibebaskan di tingkat pertama, namun di tingkat kasasi para mantan direktur Bank Mandiri divonis 10 tahun penjara.

     

    Dari putusan-putusan di atas maka dapat kiranya kami simpulkan bahwa ada-tidaknya kerugian keuangan negara tidak mutlak bersifat nyata dan pasti jumlahnya, karena ada-tidaknya kerugian keuangan negara dapat ditentukan/dihitung majelis hakim selama persidangan.

     

    Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.

     
    Dasar hukum:

    1.      Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

    2.      Undang-UndangNo. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Jika Menjadi Korban Penipuan Rekber

    1 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!