Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan?

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan?

Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan?
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan?

PERTANYAAN

Bagaimana penumpang bisa menuntut ganti rugi kepada maskapai penerbangan bila penumpang merasa dirugikan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Ada beberapa jenis pertanggungjawaban dalam hukum pengangkutan. Selain itu, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menerangkan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas beberapa jenis kerugian yang dialami penumpangnya.
     
    Besaran ganti kerugian telah ditetapkan dalam peraturan tersebut. Namun penumpang juga dapat menuntut pengangkut melalui gugatan ganti kerugian di pengadilan negeri maupun menempuh jalur pidana.
     
    Penjelasan lebih lanjut silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 16 September 2011.
     
    Jenis Pertanggungjawaban dalam Hukum Penerbangan
    Adhy Riadhy Arafah dan Sarah Amalia Nursani dalam buku Pengantar Hukum Penerbangan Privat menerangkan bahwa ada lima jenis pertanggungjawaban dalam hukum pengangkutan.
     
    Pertama, based on fault liability, yaitu konsep dasar yang biasa ditemui dalam ranah hukum perdata (hal. 24). Dalam sistem hukum Indonesia, penggunaan konsep ini tertuang jelas dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi:
     
    Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
     
    Dalam hukum pengangkutan, pihak yang dapat dikenai tanggung gugat secara hukum tidak terbatas pada pihak pengangkut saja, namun termasuk juga setiap perbuatan yang dilakukan pihak lain yang terlibat dalam segala proses penyelenggaraan kegiatan pengangkutan, seperti awak kapal atau karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan pengangkutan tersebut (hal. 24).
     
    Berdasarkan prinsip ini, beban pembuktian ada pada pihak penumpang atau pengirim barang yang harus dapat memenuhi unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu (hal. 24–25).
     
    Namun prinsip ini tidak dapat diterapkan, karena adanya kemungkinan pihak penumpang atau pengirim barang tidak mampu membuktikan kesalahan, karena keterbatasan pengetahuan dalam kegiatan penerbangan (hal. 25).
     
    Kedua, presumption of liability, yaitu beban pembuktian tidak berada pada pihak penumpang, melainkan di pihak pengangkut. Beban pembuktian ini sering dikenal dengan beban pembuktian terbalik di mana maskapai selalu dianggap bersalah dan wajib membayar ganti kerugian tanpa perlu adanya pembuktian oleh penumpang terlebih dahulu (hal. 26).
     
    Salah satu pengecualian prinsip ini adalah Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 (“Warsaw Convention”) yang memberikan ruang bagi perusahaan maskapai untuk dapat menghindari ketentuan membayar ganti kerugian jika perusahaan dapat membuktikan bahwa perusahaan telah berusaha menghindari adanya kerugian (hal. 26), sebagaimana tercermin dalam Pasal 20 ayat (1) Warsaw Convention:
     
    The carrier is not liable if he proves that he and his agents have taken all necessary measures to avoid the damage or that it was impossible for him or them to take such measures.
     
    Ketiga, limitation of liability yang memberikan perlindungan kepada pihak pengangkut terkait kemungkinan penuntutan besaran ganti rugi yang tidak terbatas (hal. 27). Salah satu pembatasan ini tercermin dalam Pasal 22 ayat (1) Warsaw Convention yang berbunyi:
     
    In the carriage of passengers, the liability of the carrier for each passenger is limited to the sum of 125,000 francs. Where, in accordance with the law of the Court seized of the case, damages may be awarded in the form of periodical payments, the equivalent capital value of the said payments shall not exceed 125,000 francs. Nevertheless, by special contract, the carrier and the passenger may agree to a higher limit of liability.
     
    Jika diterjemahkan secara bebas, ketentuan di atas membatasi jumlah yang dapat diminta oleh pihak yang dirugikan kepada pihak pengangkut.
     
    Keempat, presumption of nonliability, yaitu prinsip di mana pengangkut tidak perlu untuk selalu bertanggung gugat sepenuhnya atau bahkan tidak perlu bertanggung gugat sama sekali, kecuali memang adanya bukti bahwa kerugian tersebut memang disebabkan oleh pengangkut. Pembuktian jenis ini bertujuan untuk membuktikan sampai sejauh mana pengangkut dapat bertanggung gugat (hal. 28).
     
    Kelima, liability without fault yang merupakan penyimpangan dari prinsip tanggung gugat yang menyatakan bahwa unsur kesalahan yang menyebabkan kerugian merupakan hal yang diperlukan dalam setiap penuntutan ganti rugi. Endang Saefullah Wirapradja sebagaimana dikutip Adhy Riadhy Arafah dan Sarah Amalia Nursani menerangkan bahwa unsur kesalahan tidak relevan untuk dipermasalahkan, karena yang terpenting bila seseorang menderita kerugian atas perbuatan orang lain, maka dia secara mutlak harus bertanggung gugat (hal. 29).
     
    Pertanggungjawaban Pihak Pengangkut
    Sayangnya, Anda tidak menerangkan bentuk kerugian apa yang Anda alami serta perbuatan atau peristiwa hukum apa yang menyebabkan kerugian tersebut.
     
    Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:
    1. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka;
    2. hilang atau rusaknya bagasi kabin;
    3. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat;
    4. hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
    5. keterlambatan angkutan udara; dan
    6. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
     
    Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka ditetapkan dalam Pasal 3 Permenhub 77/2011. Sedangkan jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat ditetapkan dalam Pasal 5 Permenhub 77/2011. Namun patut diperhatikan bahwa Pasal 4 ayat (1) Permenhub 77/2011 telah mengatur bahwa:
     
    Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.
     
    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pertanggungjawaban pengangkut dalam hukum Indonesia, khususnya yang terkait kerusakan bagasi, juga menganut prinsip based on fault liability di mana penumpang harus membuktikan unsur kesalahan pengangkut jika ia mengalami kerugian.
     
    Adapun jumlah ganti kerugian terhadap hilang, musnah, atau rusaknya kargo yang dikirim telah ditetapkan dalam Pasal 7 Permenhub 77/2011. Sedangkan jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan ditetapkan dalam Pasal 10 Permenhub 77/2011.
     
    Jumlah ganti kerugian untuk pihak ketiga yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-luka, dan kerugian harta benda sebagai akibat dari peristiwa pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda dari pesawat udara yang dioperasikan ditetapkan dalam Pasal 14 Permenhub 77/2011.
     
    Tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan.[1]
     
    Tuntutan Ganti Kerugian
    Tuntutan ganti kerugian oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga yang mengalami kerugian hanya dapat dilakukan berdasarkan bukti sebagai berikut:[2]
    1. dokumen terkait yang membuktikan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tiket, bukti bagasi tercatat (claim tag), atau surat muatan udara (airway bill), atau bukti lain yang mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan;
    2. surat keterangan dari pihak yang berwenang mengeluarkan bukti telah terjadinya kerugian jiwa dan raga dan/atau harta benda terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat pengoperasian pesawat udara.
     
    Besaran ganti kerugian yang diatur dalam Pemenhub 77/2011 dan perubahannya tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[3]
     
    Selain itu, Pasal 176 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) menerangkan bahwa:
     
    Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia.
     
    Gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat pembelian tiket, pengiriman barang, domisili kantor pengangkut, kantor cabang dan domisili tergugat atau penggugat di seluruh wilayah Republik Indonesia.[4] Selain itu, ada pula ketentuan dalam Bab XXII UU Penerbangan untuk memberikan sanksi pidana, jika perbuatan yang menyebabkan kerugian tersebut memiliki unsur pidana.
     
    Baca juga: Ketentuan Ganti Kerugian Jika Penumpang Cacat Karena Kesalahan Maskapai
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Referensi:
    Adhy Riadhy Arafah dan Sarah Amalia Nursani. Pengantar Hukum Penerbangan Privat. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
     

    [1] Pasal 18 ayat (1) Permenhub 77/2011
    [2] Pasal 21 ayat (1) Permenhub 77/2011
    [3] Pasal 23 Permenhub 77/2011
    [4] Penjelasan Pasal 176 UU Penerbangan

    Tags

    perbuatan melawan hukum
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    11 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!