Saya seorang wanita yang bekerja sebagai karyawan swasta, calon suami saya juga bekerja sebagai karyawan swasta dengan level manager. Kami memutuskan menikah, tapi calon mertua saya menghendaki kami untuk menandatangani perjanjian pisah harta, karena itu merupakan salah satu syarat untuk mendapat restu mereka. Saya dan calon suami sebetulnya tidak ingin membuat perjanjian pisah harta. Yang ingin saya tanyakan: 1. Jika perjanjian pisah harta dibuat hanya untuk melindungi perolehan aset sebelum kami menikah, apakah hal tersebut sah? Karena menurut saya harta setelah menikah adalah milik bersama, saya sadar bahwa harta sebelum menikah adalah kepunyaan masing-masing. 2. Jika saya terpaksa menandatangani perjanjian pisah harta atas desakan calon mertua, bisakah saya membuat perjanjian lain antara saya dan calon suami, yang menegaskan bahwa perjanjian pisah harta tersebut tidak berlaku (tentunya tanpa sepengetahuan calon mertua saya). Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat olehDiana Kusumasari, S.H., M.H. danpernahdipublikasikanpadaRabu, 22 Pebruari 2012.
Memang harta atau aset yang diperoleh sebelum menikah adalah menjadi milik masing-masing, sehingga tidak termasuk harta bersama, kecuali ditentukan lain oleh pasangan yang bersangkutan. Sedangkan harta yang diperoleh setelah perkawinan adalah harta bersama.
Sehingga, tanpa adanya perjanjian sekalipun, harta yang diperoleh sebelum perkawinan memang adalah milik masing-masing suami atau istri sesuai ketentuan UU Perkawinan.
Perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan bersama calon suami dan calon istri. Jadi, pihak yang mengadakan perjanjian adalah calon suami dan calon istri. Tidak seharusnya calon mertua yang menentukan perjanjian perkawinan tersebut.
Perjanjian ini tidak dapat dibuat atas dasar paksaan. Jika syarat sepakat ini tidak terpenuhi (dengan adanya paksaan), maka perjanjian perkawinan tersebut dapat dibatalkan (voidable).
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan d bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
a.Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
b.Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa memang harta atau aset yang diperoleh sebelum menikah adalah menjadi milik masing-masing, sehingga tidak termasuk harta bersama, kecuali ditentukan lain oleh pasangan yang bersangkutan. Dan benar seperti yang Anda katakan bahwa harta yang diperoleh setelah perkawinan adalah harta bersama.
Sehingga, menurut hemat kami, tanpa adanya perjanjian sekalipun, harta yang diperoleh sebelum perkawinan memang adalah milik masing-masing suami atau istri sesuai ketentuan UU Perkawinan tersebut.
2.Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan ini dapat kita lihat pada Bab V UU Perkawinan tentang Perjanjian Perkawinan yang menentukan sebagai berikut:
(1)Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4)Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Merujuk pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan di atas, perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan bersama calon suami dan calon istri. Jadi, pihak yang mengadakan perjanjian adalah calon suami dan calon istri. Tidak seharusnya calon mertua yang menentukan perjanjian perkawinan tersebut.
Selain itu, perjanjian tidak dapat dibuat atas dasar paksaan. Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan, yang berarti konsensus untuk seia sekata (consensual) di antara para pihak. Dalam arti, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Tidak ada unsur-unsur kekhilafan (dwaling), tidak karena paksaan (dwang) dan juga bukan karena penipuan (bedrog) dari satu pihak terhadap pihak lainnya secara bertimbal-balik.[1]
Jika syarat sepakat ini tidak terpenuhi (dengan adanya paksaan), maka perjanjian perkawinan tersebut dapat dibatalkan (voidable). Lebih jauh simak artikel Jika Pihak Dalam Perjanjian Beriktikad Buruk.
Dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan disebutkan bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa sebenarnya bisa saja kemudian perjanjian perkawinan tersebut diubah tanpa sepengetahuan mertua Anda asalkan ada persetujuan dari suami Anda kelak.
Namun, menurut hemat kami, adalah lebih tepat jika Anda dan calon suami Anda membicarakan hal ini dengan calon mertua Anda. Bahwa Anda dan calon suami Anda menginginkan harta yang diperoleh setelah perkawinan adalah harta bersama. Sehingga tidak diperlukan biaya maupun tenaga yang lebih untuk membuat perjanjian perkawinan dan kemudian mengubahnya.