KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Jika Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami

Jika Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami
Muhammad Yasin, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jika Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami

PERTANYAAN

Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih untuk media hukumonline.com yang sudah memberikan kesempatan untuk bertanya di forum ini. Saya istri dari seorang suami dan ibu dari 2 orang anak. Saya dan suami bekerja dan sudah menikah 5 tahun. Tabiat suami yang malas, sering membuat saya resah, namun saya bertahan demi anak-anak. Suami bekerja, namun gajinya tidak pernah diberikan kepada saya selama ini. Kebutuhan belanja bulanan, dan segala tagihan, sampai kami bisa memiliki rumah, dan beberapa tanah, serta mobil adalah hasil keringat saya sebagai istri. Saya akui, penghasilan saya lebih besar dari suami, namun selama ini saya tetap menghormati dia. Tapi saya sudah tidak bisa bertahan lagi ketika sikapnya makin menjadi-jadi. Pertengkaran sering terjadi di antara kami, dan akhirnya kami memutuskan untuk cerai. Yang menjadi masalah, suami meminta harta gono gini. Padahal selama ini, suami tidak pernah memberikan hak saya sebagai istri (gajinya). Boleh dibilang, sayalah yang menghidupi keluarga ini. Pertanyaan saya, adilkah bila harta bersama dibagi rata, sementara saya selama ini tidak pernah mendapat nafkah lahir dari dia sebagai suami, dalam hal ini gaji dan penghasilan dia? Apakah pengadilan berhak dan bisa menentukan persentase pembagian harta bersama berdasarkan keterangan di persidangan, karena saya punya bukti atas semua itu? Atas bantuannya, saya ucapkan terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kalau kami tak salah menangkap maksud Anda, ada dua pertanyaan yang relevan diajukan. Pertama, apakah adil bila harta bersama dibagi rata padahal selama menjalani pernikahan suami tak menafkahi keluarga; dan kedua, apakah pengadilan berhak menentukan prosentase pembagian harta bersama berdasarkan keterangan di persidangan?

     

    Ada baiknya kami menjelaskan konsepsi harta bersama terlebih dahulu. Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) menyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan, harta bawaan masing-masing suami isteri sebagai hadiah atau warisan ada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak menentukan lain.

    KLINIK TERKAIT

    Langkah Hukum Jika Ayah Tidak Menafkahi Keluarganya

    Langkah Hukum Jika Ayah Tidak Menafkahi Keluarganya
     

    Ketentuan yang lebih jelas dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal 1 huruf f KHI menyatakan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

     

    Bagaimana kalau terjadi perceraian? Bagaimana pembagian harta bersama? Pada dasarnya, hukum memberikan kebebasan bersama (persetujuan bersama) kepada kedua belah pihak untuk melakukan tindakan terhadap harta bersama. Berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan, jika terjadi perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Jadi, UU Perkawinan memberikan kebebasan untuk mengatur pembagian harta bersama berdasarkan hukum agama, hukum adat, atau hukum lain.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Salah satu asas yang dianut dalam UU Perkawinan adalah asas ekualitas bagi suami isteri. Dengan asas ini berarti suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Suami mempunyai kewajiban antara lain memberikan nafkah. Pasal 80 ayat (4) KHI menyebutkan ‘sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a) nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak.

     

    Bagaimana kalau suami tidak pernah memberikan nafkah selama dalam perkawinan? Kondisi seperti yang Anda ceritakan mungkin hampir sama dengan putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 78 K/AG/1999. Salah satu sebab perceraian adalah suami tak bekerja. Dalam perkara ini, MA memutuskan harta bersama dibagi rata, masing-masing seperdua. Anda bisa cek juga putusan MA No. 424 K/Sip/1959.

     

    Pemahaman bahwa harta bersama dibagi dua masing-masing mendapat bagian juga disebut dalam literatur, meskipun cenderung diserahkan kepada hukum adat (lihat misalnya M. Yahya Harahap [2007: 45]). Bisa jadi, pandangan ini sejalan pula dengan Pasal 96 KHI dan Pasal 37 UU Perkawinan.

     

    Namun, jika isteri bisa membuktikan di pengadilan telah memberikan tanggung jawab lebih, termasuk membiayai rumah tangga, sangat mungkin pembagiannya lain. Jadi, keadilan dalam konteks ini sangat ditentukan oleh majelis hakim. Pengadilan berwenang menentukan porsi isteri yang menjadi tulang punggung keluarga lebih besar daripada suami dalam pembagian harta bersama. Jadi, aparat penegak hukum sebaiknya sudah harus berhati-hati dalam pembagian harta bersama apalagi dalam beberapa kasus, suami tidak berpartisipasi signifikan dalam perekonomian keluarga. Hakim agung Abdul Manan (2006: 129) mengingatkan masalah ini: ‘sebaiknya para praktisi hukum lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tersebut agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran, dan kepatutan’. Ia meminta agar hakim mengambil sikap ‘lentur’ agar keadilan tercapai.

     

    Salah satu contoh kasus semacam ini termuat dalam putusan MA No. 266K/AG/2010. Dalam putusan ini, majelis hakim memberikan ¾ bagian kepada isteri, dan sisanya (1/4 bagian) kepada suami. Pertimbangan majelis adalah: berdasarkan bukti dan fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan, pantaslah Penggugat (isteri) memperoleh harta bersama sebesar yang ditetapkan dalam amar putusan.

     

    Kewenangan hakim bukan hanya menentukan proporsionalitas pembagian harta bersama, tetapi juga memutuskan kemungkinan suami membayar nafkah isteri dan anak-anak pasca perceraian. Putusan MA No. 78 K/AG/2001 menentukan jika terjadi perceraian, maka suami berkewajiban memberikan nafkah iddah dan nafkah mut’ah.

     

    Bahkan dalam putusan No. 24K/AG/2003, MA menghukum suami untuk membayar ‘nafkah lampau’ kepada isteri. Majelis hakim yang memutus perkara merujuk pada Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Perkawinan. Majelis menyatakan ‘kelalaian suami memberikan nafkah kepada isterinya pada masa lampau, karena sudah terbukti di persidangan, maka pihak suami wajib memberikan uang nafkah lampau’.

     

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    2.    Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

     
    Referensi:

    1.    Abdul Manaf. Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami isteri dalam Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung. Bandung: Mandar Maju, 2006.

    2.    Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

    3.    M. Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

     

    Tags

    uu perkawinan
    harta gono gini

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    30 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!